Rabu, 14 Oktober 2009

‘ALĪ BIN ABĪ ŢALIB PASCA PELANTIKAN SEBAGAI KHALIFAH
A. Pidato Pelantikan
Selesai dibaiat, ‘Alī menyapaikan pidato. Setelah menyapaikan puji dan syukur kepada Allah antara lain ia berkata: “Allah telah menurunkan Qur’an sebagai petunjuk yang jelasana yang baik dan mana yang buruk. Ambilah yang baik dan tinggalkanlah yang buruk . Laksanakanlah segala kewajiban kepada Allah, yangakan mengantar kalian ke surga. (‘Alī Audah, 2008 : 195)
Bagi kalian sudah jelas segala yang diharamkan oleh Allah, dan ini merupakan suatu kehormatan bagi setiap muslim. Laksanakanlah dengan ikhlas dan bersatulah. Seorang muslim ialah yang dapat menyelamatkan orang lain dengan lidah atau tanganya atas dasar kebenaran, dan tak boleh mengganggu. Utamakanlah kepentingan umum takuklah kalian kepada Allah mengenai hak-hak manusia dan negrinya. Sampai ke soal sejengkal tanah dan binatang pun kalian harus ikut bertanggung jawab.taatlah kalian kepada Allah dan jangan melanggar perintah-Nya. Bila kalian melihat yang baik ambilah dan bila melihat yang ururk tinggalkanlah.” (‘Alī Audah, 2008 : 196)

Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, Maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu Kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.
Dia mengimbau agar penduduk desa kemb’Ali ke desanya dan menggarap tanah mereka, orang kota agar kemb’Ali ke rumah-rumah mereka di kota. (‘Alī Audah, 2008 :196)
‘Alī bin Abi Ţalib berpendapat,hanya ada dua pilihan bagi amirul-mukminin. Pertama, pemerintah sibawah seorang imam dengan segala konsekuensinya sebagai syarat kekhalifahan,yakni harus bertakwa, dan menjauhkan diri dari segala perbuatan dosa, kuat dan berwibawa. Kedua, pemerintah dibawah seorang raja dengan segala kemewahan, kemegahan dan kekuasaanya, yang cenderung sewenang-wenang. (‘Alī Audah, 2008 : 196)
B. Pengangkatan Tiga Gubernur
‘Alī adalah orang yang istikamah, berpegang teguh pada kebenaran,adil, jujur, terus terang dan tegas, dalam berbicara dan dalam bertindak, tak suka berliku-liku dan tak suka main politik atau mau kompromi dalam mempertahan kan kebenaran. Disadari atau tidak, tindakan demikian secara politik akan merugikan dirinya. Tetapi baginya kebenaran dan keimanan pada ajaran agamanya diatas politik, kendati yang demikian ini sering berakibat nerugikan perjuangannya. (‘Alī Audah, 2008 : 201)
Bagamanapun juga, setelah sekarang sebagai penanggung jawab umat dan sebagai kepala negara, mau tak mau berarti ia harus terjun ke tengah-tengah kancah politik paraktis, dan dalam beberapa hal, seperti perang, politik tidak mungkin lepas dari taktik dan strategi, politik adalah ilmu cara memperoleh keuntungan, yang tidak jarang harus mengorbankan orang lain. Politik adalah kekuasaan. Konsekuensinya, jika tak mau begitu,jangan berpolitk, jangan memegang kekuasaan. ‘Alī memang bukan orang politik. Ketegasannya dalam menolak nasihat-nasihat Abdullah bin Abbas dan Mugirah bin Syu’bah tanpa seikitpun mau menegang, dari segi politik mungkin tidak menguntungkan untuk masa depannya dan masa depan umat, dapat dinilai berlawanan dengan etika politik “take and give” yang berlaku dalam sejarah politik kemudian hari. Lepas dari soal ia sangat tegas dan memang diperlukan demikian, tetapi kadang ia bertidak terlalu cepat atau tergesa-gesa mengambil keputusan, seperti yang terjadi kemudian dengan Abu Musa al-Asy’ari, Gubernur Khufah yang langsung dipecat dan diangkat gantinya, setelah perintahnya tidak dipatuhi. (‘Alī Audah, 2008 : 201)
Dalam mengganti para Gubernur itu tindakan ‘Alī yang cukup bijaksana ketika mengangkat Uśman bin Hunaif al-Ansari untuk basrah menggantikan Abdullah bin ‘Amir, Sahl bin Hunaif, saudaranya, untuk Syam menggantikan Mu’awiyah, Qais bin Sa’d bin Ubadah untuk Mesir, menggantikan Abdullah bin Sa’d. Ketiganya adallah dari kalangan Ansar terkemuka. Tetapi ada sumber yang menyebutkan, bahwa dalam menjalani tugas masing-masing yang masih menghadapi masalah adalah Qais bin Sa’d. setelah sampai ditempat tujuan ternyata Qais berhadapan dengan penduduk dalam tiga kelompok. Satu kelompok mendukung Ali, kelompok kedua menyendiri ke khirbata dan tidak akan mendukung ‘Alī sebelum pembunuh Usman dihukum, tetapimereka tidak mengadakan perlawanandan tetepa taat sambil menunggu perkembangan, dan kelompok ketiga pengikut Ibn Saba’ dan kaum peberontak yang menuntut agar para pembunuh tidak di hukum. (‘Alī Audah, 2008 : 202)
C. Munculnya Pertentangan
Kehidupan kenegaraan dan tata kemasyarakatan yang ditinggalkan Khalifah Utsman bin Affan r.a. memang berada dalam situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan Imam ‘Alī r.a. sebagai Khalifah. Sejak sebelum dibai’at Imam ‘Alī r.a. sudah membayangkan adanya kesulitan-kesulitan besar yang bakal dihadapi. Berbagai macam problema sosial, politik dan ekonomi ternyata muncul dalam waktu yang bersamaan. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 90)
Bagi ‘Alī as, Situasi masyarakat diawal masa khalifahnya, sama seperti situasi pada masa sebelum Islam. (Rasul Ja’fariyan, 2006 : 279)
Langkah pertama untuk membenahi keadaan yang serba tak mantap, tentu saja memulihkan ketertiban, khususnya di ibukota, Madinah. Ribuan kaum pemberontak yang bertebaran di ibukota berhasil dihimbau dan dijinakkan sampai mereka berhasil dipulihkan kemb’Ali ke dalam kehidupan normal. Bagi Imam ‘Alī r.a. tidak ada kemungkinan untuk bertindak terhadap ribuan kaum pemberontak yang telah mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman r.a. Bertindak terhadap mereka, berarti menyulut api perang saudara. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 90)
Bagi Imam ‘Alī r.a. memang tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Daripada bermusuhan dengan kaum muslimin yang menuntut terlaksananya kebenaran dan keadilan, lebih baik berhadap hadapan dengan tokoh-tokoh Bani Umayyah, betapa pun besarnya resiko yang akan dipikul. Dan ternyata, tidak bertindaknya Imam ‘Alī r.a. terhadap kaum mulimin yang memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a., dijadikan alasan dan dalih oleh lawan-lawan politiknya untuk menggerakan kekuatan oposisi dan perlawanan. Kemungkinan itu pun telah diperhitungkan oleh
Imam ‘Alī r.a. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 90)
Ada lagi tindakan dan langkah Imam ‘Alī r.a: yang sangat menjengkelkan lawan-lawan politiknya. Yaitu tindakan menertibkan aparatur pemerintahan. Penguasa-penguasa daerah yang selama 6 tahun terakhir masa pemerintahan Khalifah Utsman r.a. terbukti telah menyalah-gunakan wewenang untuk kepentingan pribadi dan golongan, digeser seorang demiseorang. Banyak pejabat tinggi yang tidak dipakai lagi. Di antara mereka ialah Marwan bin Al Hakam, seorang pembantu Khalifah Utsman r.a. yang sangat dominan kekuasaannya, yang kemudian lari meninggalkan Madinah. Juga Abdullah bin Abi Sarah digeser dari kedudukkannya sebagai penguasa daerah Mesir. Imam ‘Alī r.a. juga berniat hendak mengganti penguasa daerah Syam yang berpengaruh itu, Muawiyah bin Abi Sufyan. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 90)
Sebelum bertindak melaksanakan penertiban, Imam ‘Alī r.a. telah mengadakan pertukaran pendapat dengan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar. Ia yakin, bahwa hanya dengan aparatur yang bersih dan sepenuhnya mengabdi kepentingan agama dan ummat saja, pemerintahnya akan dapat berjalan dengan lancar dan kebenaran serta keadilan dapat ditegakkan. Imam ‘Alī r.a. tidak tanggung-tanggung dalam bertindak menjalankan penertiban.Siapa saja yang terbukti tidak mengabdikan amalnya kepada agama Allah dan ummat Islam, digeser tanpa tawar-menawar. Satu persatu tokoh-tokoh yang tidak atau kurang jujur tersingkir. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 90)
D. Pertentangan Dengan Muawiyah
Sejak mendengar Imam ‘Alī r.a. terbai’at sebagai Amirul Mukminin, Muawiyah telah memasang kuda-kuda untuk menjegal kepemimpinan Imam ‘Alī r.a. Apa yang disiapkan oleh Muawiyah bukannya tidak dimengerti oleh Amirul Mukminin, dan justru itulah motivasinya hendak menggeser Muawiyah. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 91)
Banyak sahabat Imam ‘Alī r.a. yang mengemukakan kekhawatiran bila Imam ‘Alī r.a. melaksanakan niatnya. Mereka menasehatkan agar Imam ‘Alī r.a. tidak cepat-cepat mengambil tindakan terhadap Muawiyah. Mereka mengatakan: “Kami yakin Muawiyah tidak akan tinggal diam bila dia disingkirkan dari kedudukannya. Sebaliknya, ada kemungkinan ia merasa cukup puas jika sementara dibiarkan memegang jabatan itu.” (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 91)
Tetapi Imam ‘Alī r.a. sebagai seorang pemimpin yang selalu bersikap prinsipal, tak mau mundur sejengkal pun. Ia menegaskan pendiriannya: “Aku tidak dapat lagi memakai Muawiyah, sekalipun hanya untuk dua hari! Aku tidak akan mempergunakannya dalam tugas apa pun juga. Bahkan ia tidak akan kuperbolehkan menghadiri peristiwa upacara penting. Ia juga tidak akan mendapat kedudukan dalam pasukan muslimin!” Pendirian Imam ‘Alī r.a. sudah tidak dapat ditawar lagi, Keputusan diambil: mengganti Muawiyah dengan Sahl bin Hunaif, seorang dari kaum Anshar. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 91)
Tindakan yang diambil Imam ‘Alī r.a. ini mengaw’Ali pertentangan terbuka dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada waktu Sahl bin Hunaif tiba di Damsyik, Muawiyah secara terang-terangan menolaknya. Malahan ia berani memerintahkan agar Sahl cepat kemb’Ali ke Madinah. Peristiwa ini membuat para sahabat Imam ‘Alī r.a. bertambah khawatir. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 91)
Penolakan dan pembangkangan Muawiyah ternyata sama sekali tidak menggetarkan fikiran Imam ‘Alī r.a. Ia berpegang teguh pada firman Allah yang menegaskan, bahwa tiap muslim wajib taat kepada Waliyyul Amri (pemegang kekuasaan) selama Waliyyul Amri tidak berlaku durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Bagi Imam ‘Alī r.a., perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya adalah di
atas segala-galanya. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 91)
Boleh dikatakan bahwa seluruh ahli sejarah dan ahli ketimuran mencela tindakan ali. Dikatakanya ‘Alī tidak bijaksana dan tidak mendapat taufik dalam hal ini. Tetapi, Prof.Dr. A Syabili dalam bukunya berpendapat bahwa tiadalah pada tempatnya meletakan tuduhan seberat itu kepada Ali. Tuduhan itu sangat berlebih-lebihan. Orang banyak menerima begitu saja dan ikut menuduh pula tanpa dipelajari dan diselidiki. Tetapi, hal ini tak perlu pula diherankan karena dalam masyarakat banyak pula hal yang seperti ini (Prof. Dr. A Syalabi, 2000 : 285)






















DAFTAR PUSTAKA

Audah, Ali. 2008. ‘Alī bin Abi Ţalib sampai kepada Hasan Husain. Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa.
al Husaini, al Hamid. 1981. Sejarah Hidup Imam ‘Alī bin Abi Thalib r.a. Jakarta : Lebaga Penyelidikan Islam.
Ja’fariyan, Rasul. 2006. Sejarah Khilafah. Jakarta : Penerbit Al Huda.
Syalibi, A. 2000.Sejarah dan Kebudayan Islam 1. Jakarta : PT. Al Husna Zikra.

Related Posts sesuai kategori



Tidak ada komentar:

Posting Komentar