Kategori: Fiqh dan Muamalah
Wudhu merupakan salah satu amalan ibadah yang agung di dalam Islam. Secara bahasa, wudhu berasal dari kata Al-Wadha’ah, yang mempunyai arti kebersihan dan kecerahan. Sedangkan menurut istilah, wudhu adalah menggunakan air untuk anggota-anggota tubuh tertentu (yaitu wajah, dua tangan, kepala dan dua kaki) untuk menghilangkan hal-hal yang dapat menghalangi seseorang untuk melaksanakan shalat atau ibadah yang lain.
Dalil-Dalil Disyariatkannya Wudhu
Dalil dari Al-Qur’an
Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan taganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Dalil dari As-Sunnah
1. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk berwudhu apabila hendak mengerjakan shalat.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasa’i dengan derajad shahih)
2. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ” Tidak diterima shalat salah seorang dari kalian apabila ia berhadas, hingga ia berwudhu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalil Ijma’
Para ulama telah sepakat bahwa tidak sah shalat tanpa bersuci, jika dia mampu untuk melakukannya.
Begitu penting dan agungnya perkara wudhu ini, sampai-sampai dikatakan bahwa tidak sah shalat seseorang tanpa berwudhu, maka sudah selayaknya bagi setiap muslim untuk menaruh perhatian yang besar terhadap permasalahan ini dengan berusaha memperbagus wudhunya yaitu dengan memperhatikan syarat, kewajiban serta sunnah-sunnah wudhu.
Syarat-syarat Wudhu
Yang dimaksud dengan syarat-syarat wudhu adalah perkara-perkara yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak berwudhu. Di antara syarat-syarat wudhu adalah:
1. Islam.
Wudhu merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam di mana orang yang melakukannya dengan ikhlas serta sesuai dengan tuntunan Allah akan diberi pahala. Adapun orang kafir, amalan-amalan mereka seperti debu yang beterbangan yang tidak akan diterima oleh Allah ta’ala.
2. Berakal
3. Tamyiz (Dewasa)
4. Niat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ” Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang diniatkannya. ” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, orang yang dhohirnya (secara kasat mata) berwudhu, akan tetapi niatnya hanya sekedar untuk mendinginkan badan atau menyegarkan badan tanpa diniati untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam berwudhu serta menghilangkan hadats, maka wudhunya tidak sah. Dan yang perlu untuk diperhatikan, bahwa niat di sini letaknya di dalam hati dan tidak perlu dilafazkan.
5. Tasmiyah
Yang dimaksud dengan tasmiyah adalah membaca “bismillah”. Boleh juga apabila ditambah dengan “Ar-Rohmanir Rohim“. Tasmiyah ketika hendak memulai shalat merupakan syarat sah wudhu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah (bertasmiyah, pen). ” (HR. Ibnu Majah, hasan)
6. Menggunakan air yang suci
Air dikatakan suci atau masih suci manakala tidak tercampur oleh zat/barang yang najis sehingga menjadi berubah salah satu dari tiga sifat, yaitu bau, rasa dan warnanya. Apabila air telah terkena najis, misalnya air kencing atau yang lainnya, kemudian menjadi berubah salah satu dari ketiga sifat di atas maka air tersebut telah menjadi tidak suci lagi berdasarkan ijma’. Apabila air tersebut tercampuri oleh sesuatu yang bukan najis, maka air tersebut masih boleh dipakai untuk berwudhu apabila campurannya hanya sedikit. Namun apabila campurannya cukup banyak sehingga menjadikan air tersebut tidak bisa dikatakan lagi sebagai air, maka air yang telah berubah ini tidak dapat dipakai untuk berwudhu lagi karena sudah tidak bisa dikatakan lagi sebagai air. Misalnya, ada air yang suci sebanyak 1 liter. Air ini kemudian dicampur dengan 5 sendok makan susu bubuk dan diaduk. Maka campuran air ini tidak bisa lagi dipakai untuk berwudhu karena sudah berubah namanya menjadi “susu” dan tidak dikatakan sebagai air lagi.
7. Menggunakan air yang mubah
Apabila air diperoleh dengan cara mencuri, maka tidak sah berwudhu dengan air tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Baik. Dia tidak menerima sesuatu kecuali yang baik.” (HR. Muslim). Sudah dimaklumi, bahwa mencuri merupakan perbuatan yang tidak baik dan keharamannya sudah jelas. Oleh karena itu, air hasil curian (yang merupakan barang yang tidak baik) tidak sah digunakan untuk berwudhu.
8. Menghilangkan sesuatu yang menghalangi sampainya air ke kulit.
Tidak sah wudhu seseorang yang memakai kutek atau yang lainnya yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit.
Rukun-Rukun Wudhu
Rukun wudhu dikenal pula sebagai kewajiban wudhu yaitu perkara-perkara yang harus dilakukan oleh orang yang berwudhu agar wudhunya menjadi sah. Di antara rukun-rukun wudhu adalah:
1. Mencuci seluruh wajah
Wajah adalah sesuatu yang tampak pada saat berhadapan. Batasan wajah adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut bagian atas dahi hingga bagian paling bawah dari jenggot atau dagu (jika memang tidak punya jenggot). Ini bila ditinjau secara vertikal. Adapun batasan wajah secara horizontal adalah dari telinga hingga ke telinga yang lain.
Mencuci wajah merupakan salah satu rukan wudhu, artinya tidak sah wudhu tanpa mencuci wajah. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu.” (QS. Al-Maidah: 6)
Termasuk salah satu kewajiban dalam wudhu adalah menyela-nyela jenggot bagi yang memiliki jenggot yang lebat berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, beliau mengambil setelapak air kemudian memasukkannya ke bawah dagunya selanjutnya menyela-nyela jenggotnya. Kemudian bersabda, “Demikianlah Rabbku memerintahkanku.” (HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi, Al-Hakim dengan sanad shahih lighoirihi).
Perlu untuk diperhatikan bahwa pegertian mencuci wajah termasuk di dalamnya madhmadhoh (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dan menghirupnya hingga ke bagian dalam hidung). Hal ini karena mulut dan hidung juga termasuk bagian wajah yang harus dicuci. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian berwudhu hendaklah ia melakukan istinsyaq.” (HR. Muslim). Adapun tentang madhmadhoh, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau berwudhu, maka lakukanlah madhmadhoh.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu majah dengan sanad yang shahih)
Sehingga orang yang berwudhu tanpa disertai dengan madhmadhoh dan istinsyaq maka wudhunya tidak sah.
2. Mencuci kedua tangan hingga siku
Para ulama telah bersepakat tentang wajibnya mencuci kedua tangan ketika berwudhu. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan juga tanganmu sampai dengan siku.” (QS. Al-Maidah: 6)
Perlu untuk diperhatikan bahwa siku adalah termasuk bagian tangan yang harus disertakan untuk dicuci.
3. Mengusap kepala serta kedua telinga
Allah berfirman yang artinya, “… dan usaplah kepalamu.” (QS. Al-Maidah: 6). Yang dimaksud dengan mengusap kepala adalah mengusap seluruh bagian kepala mulai dari depan hingga belakang. Adapun apabila seseorang mengenakan sorban, maka cukup baginya untuk mengusap rambut di bagian ubun-ubunnya kemudian mengusap sorbannya. Demikian pula bagi wanita yang mengenakan kerudung.
Adapun mengusap kedua telinga hukumnya juga wajib karena termasuk bagian dari kepala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua telinga termasuk kepala.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Mengusap kedua telinga ini dilakukan setelah mengusap kepala dengan tanpa mengambil air yang baru.
4. Mencuci kedua kaki hingga mata kaki.
Allah berfirman yang artinya,” dan (cucilah) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Perlu untuk diperhatikan bahwa kedua mata kaki adalah termasuk bagian kaki yang harus disertakan untuk dicuci. Adapun menyela-nyela jari-jari kaki hukumnya juga wajib apabila memungkinkan bagian antar jari tidak tercuci kecuali dengan menyela-nyelanya.
5. Muwalaat (berturut-turut)
Muwalat adalah berturut-turut dalam membasuh anggota wudhu. Maksudnya adalah sebelum anggota tubuh yang dibasuhnya mengering, ia telah membasuh anggota tubuh yang lainnya.
Dalilnya adalah hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seorang laki-laki yang berwudhu dan meninggalkan bagian sebesar kuku pada kakinya yang belum tercuci. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya maka beliau bersabda, “Kembalilah dan perbaikilah wudhumu!” (HR. Muslim). Dalam suatu riwayat dari sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bahwasanya Nabi melihat seseorang sedang shalat, sementara di bagian atas kakinya terdapat bagian yang belum terkena air sebesar dirham. Maka Nabi memerintahkannya untuk mengulangi wudhu dan shalatnya.” (HR. Abu dawud, shahih). Dari hadits di atas, dapat kita ketahui bahwa muwalaat merupakan salah satu rukun wudhu. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mencukupkan diri dalam memerintahkan orang yang belum sempurna wudhunya untuk mencuci bagian yang belum tercuci sebelumnya, namun beliau memerintahkan orang tersebut untuk mengulangi wudhunya.
Sunnah-sunnah Wudhu
Yang dimaksud sunnah-sunnah wudhu adalah hal-hal yang menyempurnakan wudhu. Di dalamnya terdapat tambahan pahala. Adapun jika hal-hal tersebut ditinggalkan, wudhunya tetap sah. Di antara sunnah-sunnah wudhu adalah:
1. Bersiwak
Siwak diambil dari kata saka, yang artinya adalah menggosok. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan bersiwak adalah menggunakan kayu siwak atau sejenisnya pada gigi untuk menghilangkan warna kuning atau yang lainnya.
Bersiwak ini sangat dianjurkan tatkala hendak berwudhu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku, niscaya telah kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. Ahmad, dalam Shohihul jami’)
2. Mencuci kedua telapak tangan
Yang dimaksud adalah mencuci kedua telapak tangan sebelum wudhu ketika hendak mencuci wajah. Hal ini dilakukan masing-masing sebanyak tiga kali berdasarkan hadits Utsman tentang sifat (cara) wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “…lalu beliau menuangkan (air) di atas telapak tangannya tiga kali kemudian mencucinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Madhmadhoh (berkumur-kumr) dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) dari satu telapak tangan sebanyak tiga kali.
Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang mengajarkan tentang sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ” Bahwasanya beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dari satu telapak tangan. Beliau melakukan hal itu sebanyak tiga kali.” (HR. Muslim). Termasuk sunnah dalam wudhu adalah bersungguh-sungguh tatkala beristnsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), kecuali bagi orang yang bepuasa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bersungguh-sunguhlah dalam beristinsyaq, kecuali kamu dalam keadaan berpuasa. (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dengan sanad yang shahih)
Perlu untuk diketahui bahwa bermadhmadhoh serta beristinsyaq dalam wudhu hukumnya wajib (sebagaimana penjelasan yang terdahulu tentang rukun-rukun wudhu). Adapun bermadhmadhoh dan beristinsyaq dengan menggunakan satu telapak tangan serta melakukannya sebanyak tiga kali hukumnya hanyalah sunnah. Demikian pula bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq tatkala berwudhu selain bagi orang yang berpuasa, ini pun hukumnya hanyalah sunnah.
4. Tayamun
Yang dimaksud dengan tayamun adalah mencuci anggota wudhu dengan memulainya dari bagian anggota wudhu yang kanan dulu kemudian ke bagian yang kiri pada saat mencuci kedua tangan atau kaki.
Dalilnya adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tatkala menceritakan sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “…Kemudian beliau mengambil seciduk air lalu mencuci tangan kanannya, kemudian mengambil seciduk air lalu mencuci tangan kirinya. Kemudian beliau mengusap kepalanya. Selanjutnya beliau mengambil seciduk air lalu menyiramkannya pada kaki kanannya hingga mencucinya. Kemudian beliau mengambil seciduk air lagi lalu mencuci kaki kirinya.” (HR. Bukhari)
5. Mencuci anggota-anggota wudhu sebanyak tiga kali.
Hali ini merupakan cara wudhu yang paling sempurna berdasarkan hadits A’robi (arab badui) tatkala ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wudhu, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya tiga kali-tiga kali. Selanjutnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Inilah cara berwudhu...” (HR. Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad, shohih). Juga berdasarkan hadits Utsman radhiyallahu ‘anhu yang suatu ketika memperlihatkan cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Utsman radhiyallahu ‘anhu berwudhu tiga kali tiga kali kemudian berkata, “Aku melihat Nabi berwudhu seperti wudhuku ini…” (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun berwudhu sekali-sekali ataupun dua kali dua kali, ini pun juga diperbolehkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah melakukannya.
6. Berdoa setelah wudhu
Berdoa setelah wudhu merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan, berdasarkan hadits dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudhu dengan sempurna, kemudian mengucapkan ‘Asyhadu allaa ilaha illallah wahdahu laa syarika lahu, wa asyhadu anna muhammdan abduhu wa rosuluhu‘ kecuali dibukakan baginya delapan pintu surga dan ia boleh masuk dari pintu mana saja yang ia suka.” (HR. Muslim). Di dalam lafadz Tirmidzi ada tambahan bacaan, “Allahumma ijnalni minattawwabiin wa ij’alni minal mutathohhiriin.” (HR. Tirmidzi, shahih)
7. Shalat dua rakaat setelah wudhu
Amalan ini mempunyai nilai yang sangat agung di dalam Islam berdasarkan hadits Utsman radhiyallahu ‘anhu. Tatkala Utsman radhiyallahu ‘anhu selesai mempraktekkan cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, ‘Barang siapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian shalat dua rakaat dengan penuh kekhusyukan, maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian beberapa syarat, rukun dan sunnah-sunnah wudhu yang hendaknya menjadi perhatian bagi kita semua untuk kita amalkan agar wudhu kita sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebenarnya ada beberapa permasalahan di atas yang masih menjadi perselisihan para ulama tentang pengelompokannya menjadi syarat, rukun atau sunnah wudhu, akan tetapi sengaja tidak kami tampilkan dan hanya dipilih yang paling kuat pendapatnya menurut penulis untuk mempermudah pembahasan. Mudah-mudahan Allah memberikan taufik kepada penulis dan menjadikan tulisan ini sebagai tabungan amal shalih bagi penulis di akhirat kelak serta bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
Penulis: Ibnu Sutopo
Artikel www.muslim.or.id
Perbedaan Pendapat Seputar Wudhu
Ayat Wudhu (QS Al-Maidah : 6) :
“Yaa ayyuhalladzina aamanuu idza qumtum ilash sholati faghsiluu wujuuhakum wa aidiyakum ilal marafiq wamsahuu biru-usikum wa arjulakum ilal ka’bain”
Apakah niat merupakan syarat wudhu?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’I, Malik, Ahmad, Abu Tsaur, Dawud ) : ya
Pendapat II (Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri) : tidak
Sebab perbedaan pendapat :
Para fuqaha sepakat bahwa ibadah mahdhah (ibadah yang tidak bisa dilogika) mempersyaratkan adanya niat, namun tidak untuk ibadah ghairu mahdhah (ibadah yang bisa dilogika). Dalam hal ini, para fuqaha berbeda pendapat tentang wudhu itu ibadah mahdhah ataukah ghairu mahdhah, sebab wudhu itu agak samar sifatnya antara ritual dan tindakan higienis / sanitatif.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Niat adalah wajib dalam wudhu sebagaimana ia wajib dalam setiap amalan, sesuai dengan hadits Nabi : Innamal a’maalu bin niyyaat …
Apakah sikut termasuk yang wajib dibasuh?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Jumhur, Malik, Syafi’I, Abu Hanifah) : ya
Pendapat II ( sebagian zhahiriyah, sebagian pengikut Malik yang belakangan, Thabari) : tidak
Sebab perbedaan pendapat :
1. Perbedaan pendapat mengenai makna kata “ilaa” (sebagaimana disebutkan dalam Ayat Wudhu), karena “ilaa” terkadang bermakna “sampai” (ghaayah) dan terkadang bermakna “termasuk” (ma’a).
2. Perbedaan pendapat mengenai makna “al-yad” , karena ia dipakai oleh orang Arab dengan salah satu dari tiga makna : “hand”, “dari ujung jari sampai siku”, dan “dari ujung jari sampai bahu”.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Sikut termasuk yang wajib dibasuh. Tidak ada riwayat dari Nabi saw yang mengemukakan bahwa beliau meninggalkannya.
Kadar menyapu rambut
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik) : seluruh rambut wajib diusap
Pendapat II (Syafi’I, Abu Hanifah, sebagian sahabat Malik) : hanya wajib mengusap sebagiannya
Yang dimaksud dengan sebagian ialah :
Syafi’I : tidak ada batasan tertentu
Abu Hanifah : sesuai dengan ukuran telapak tangan
Sebagian sahabat Mlaik : sepertiga atau dua pertiga bagian dari kepala
Sebab perbedaan pendapat :
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai makna kata “bi” ( sebagaimana disebutkan dalam Ayat Wudhu ) :
• Ada yang mengatakan bahwa “bi” dalam ayat tersebut adalah “bi zaidah” yang berfungsi untuk men-ta’kid. Implikasi : pendapat I
• Yang lain mengatakan bahwa “bi” dalam ayat tersebut adalah untuk “tab’idh” (menyatakan makna “sebagian” ). Implikasi : pendapat II
Pendapat Sayyid Sabiq :
Mengusap kepala tidaklah harus keseluruhannya. Sesuai dengan riwayat-riwayat dari Nabi, mengusap kepala bisa dilakukan dengan tiga cara :
1. Mengusap keseluruhannya
2. Mengusap serbannya saja
3. Mengusap ubun-ubun dan serban
Masalah jumlah basuhan dan sapuan
Para fuqaha sepakat bahwa basuhan wajib dilakukan minimal satu kali, dan sunnah jika dilakukan dua atau tiga kali.
Namun para fuqaha berbeda pendapat tentang jumlah usapan :
Pendapat I (Syafi’I) : jika ia membasuh tiga-tiga kali maka ia pun mengusap tiga-tiga kali.
Pendapat II (Jumhur) : tidak ada tuntunan untuk mengulang usapan lebih dari satu kali.
Sebab perbedaan pendapat : pertentangan antar hadits.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Menurut riwayat yang paling banyak, mengusap kepala adalah satu kali saja.
Hukum menyapu dua telinga, demikian juga dengan air baru atau tidak?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (sebagian sahabat Malik) :
menyapu dua telinga adalah wajib (karena ia termasuk kepala), dilakukan dengan air baru.
Pendapat II ( Abu Hanifah) :
menyapu dua telinga adalah wajib, tetapi tidak dengan air baru.
Pendapat III (Syafi’I) :
menyapu dua telinga adalah sunnah, dilakukan dengan air baru.
Sebab perbedaan pendapat :
1. Pertentangan antar hadits
2. Pertentangan mengenai apakah dua telinga termasuk kepala ataukah tidak.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Mengusap dua telinga adalah sunnah wudhu.
Komentar :
Dalam Silsilatul Ahadits Al-Shahihah karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani Jilid I Bagian I terdapat hadits “Dua telinga termasuk kedalam kepala”.
Dua kaki dibasuh ataukah disapu?
Sahabat Nabi berijma’ bahwa kedua tumit wajib dibasuh (hadits Ibnu Umar, muttafaq ‘alaih). Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai selain tumit.
Perbedaan pendapat :
Pendapat I ( jumhur) : wajib dibasuh
Pendapat II : wajibnya adalah diusap
Pendapat III : boleh pilih antara dibasuh dan diusap
Sebab perbedaan pendapat : perbedaan qira’at :
• Qira’at I : nashb, athaf terhadap bagian yang dibasuh. Implikasi : pendapat I
• Qira’at II : khifdh, athaf terhadap bagian yang diusap. Implikasi : pendapat II
Pendapat Sayyid Sabiq :
Dua kaki adalah dibasuh, sebagaimana tumit juga dibasuh.
Masalah tartib
Perbedaan pendapat :
Pendapat I :
tartib adalah sunnah
Pendapat II :
tartib adalah wajib untuk perbuatan-perbuatan yang wajib (rukun wudhu), sedangkan untuk sunnah-sunnah wudhu maka tartib adalah mustahab / sunnah.
Pendapat III :
tartib adalah wajib secara mutlaq. Artinya : melakukan perbuatan-perbuatan sunnah tidak secara urut adalah bid’ah yang tercela.
Sebab perbedaan pendapat :
• Perbedaan pendapat mengenai makna kata “wa” (sebagaimana tersebut dalam Ayat Wudhu)
Pendapat madzhab nahwu Bashrah : “wa” tidak menunjukkan tartib
Pendapat madzhab nahwu Kufah : “wa” menunjukkan tartib
• Perbedaan pendapat mengenai perbuatan rasulullah dalam kasus ini menunjukkan wajib ataukah sunnah.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Tartib termasuk wajib wudhu, sesuai dengan keumuman hadits nabi saw,”Dahulukanlah apa-apa yang didahulukan oleh Allah”. Demikian pula tidak ada riwayat yang mengemukakan bahwa Nabi berwudhu dengan tidak tertib. Sementara itu, wudhu adalah ibadah. Dan dalam urusan ibadah, sikap kita adalah ittiba’.
Masalah muwaalaah (kontinyuitas)
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik) : muwaalaah adalah wajib dalam keadaan ingat dan mampu.
Pendapat II (Syafi’I, Abu Hanifah) : muwaalaah tidaklah wajib.
Sebab perbedaan pendapat :
• Perbedaan pendapat mengenai makna “wa”
• Pertentangan hadits
Pendapat Sayyid Sabiq :
Muwaalaah termasuk sunnah wudhu.
Tentang hal-hal yang membatalkan wudhu :
Masalah keluarnya zat-zat dari tubuh manusia
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Sufyan Tsauri, Ahmad ) :
keluarnya segala najis dari bagian tubuh yang mana saja adalah membatalkan wudhu
Pendapat II ( Sya’fi’i dan sahabat-sahabatnya ) :
keluarnya sesuatu dari dubur dan qubul adalah membatalkan wudhu.
Pendapat III ( Malik dan sahabat-sahabatnya) :
keluarnya sesuatu yang lazim dari dubur dan qubul dalam kedaan sehat adalah membatalkan wudhu.
Sebab perbedaan pendapat :
Ketika para fuqaha sepakat berdasarkan zhahir Qur’an dan Sunnah bahwa buang air besar, buang air kecil, buang angin, dan mengeluarkan madzi serta wadi adalah membatalkan wudhu, maka mereka menarik beberapa kemungkinan :
• Kemungkinan pertama : hukum ini hanya berhubungan dengan zat-zat yang secara eksplisit disebutkan dan tidak meliputi yang lainnya. Implikasi : pendapat III
• Kemungkinan kedua : hukum ini berhubungan dengan zat-zat tersebut dari sisi bahwa itu semua termasuk najis yang keluar dari badan. Implikasi : pendapat I
• Kemungkinan ketiga : hukum ini berhubungan dengan zat-zat tersebut dari sisi bahwa itu semua keluar dari dubur dan qubul. Implikasi : pendapat II
Komentar :
• Pendapat I dan II masuk dalam bab khaashsh tetapi yang diinginkan adalah ‘aamm.
• Pendapat III masuk dalam bab khaashsh yang diterapkan hanya pada kekhususannya.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Diantara hal-hal yang membatalkan wudhu ialah keluarnya setiap zat dari dua jalan (dubur dan qubul) . Lalu beliau memerinci bahwa zat-zat tersebut ialah : kencing, berak, kentut, madhi, dan wadi.
Masalah tidur
Perbedaan pendapat :
Pendapat I :
tidur membatalkan wudhu, baik sebentar ataupun pulas.
Pendapat II :
tidur tidak membatalkan wudhu sama sekali kecuali yang bersangkutan benar-benar yakin bahwa ia telah berhadats (buang angin, buang air, keluar madzi ).
Pendapat III ( jumhur ) :
tidur yang pulas membatalkan wudhu, namun tidur yang sebentar saja (tidak sampai pulas) tidak membatalkan wudhu.
Tentang posisi tidur :
• Malik : tidur sambil berbaring atau bersujud membatalkan wudhu, baik tidur sebentar atau lama. Tidur sambil duduk tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya itu lama.
• Syafi’I : tidur dalam semua posisi, kecuali dalam posisi duduk, adalah membatalkan wudhu.
• Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya : tidur yang membatalkan wudhu hanyalah tidur dalam posisi berbaring.
Sebab perbedaan pendapat :
pertentangan antar hadits :
1.Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa tidur tidak mengharuskan wudhu’
2.Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa tidur merupakan hadats
Istinbath para fuqaha :
Metode tarjih : ada dua kemungkinan antara pendapat I dan pendapat II
Metode jam’u wa taufiq : menghasilkan pendapat III
Komentar :
Menurut jumhur ushuliyyun, metode jam’u wa taufiq lebih utama daripada metode tarjih, apabila memungkinkan.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Tidur yang membatalkan wudhu ialah tidur yang pulas, yang tidak menyisakan kesadaran, dan juga yang tidak dalam posisi duduk.
Masalah menyentuh wanita
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’iyah) :
Menyentuh tanpa penghalang, termasuk didalamnya mencium, adalah membatalkan wudhu, baik menikmati ataupun tidak menikmati.
Terkadang dibedakan antara yang menyentuh dan yang disentuh. Wudhu batal bagi yang menyentuh tetapi tidak bagi yang disentuh.
Terkadang dibedakan pula antara menyentuh isteri dan menyentuh mahram. Wudhu batal jika menyentuh isteri tetapi tidak jika menyentuh mahram.
Pendapat II (Malik dan sebagian besar sahabatnya) :
Menyentuh dengan menikmati ataupun dengan maksud menikmati, dengan penghalang atau tanpa penghalang, adalah membatalkan wudhu; kecuali mencium maka ia membatalkan wudhu meskipun tidak menikmati.
Pendapat III (Abu Hanifah) :
Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu
Sebab perbedaan pendapat : isytirak makna “lams” dalam ayat yang ada :
1.Sebagian memaknai “lams” dengan makna majazi yang berarti jima’. Mereka juga mengemukakan berbagai hadits yang mendukung :
• Nabi menyentuh Aisyah dengan tangan saat bersujud.
• Nabi mencium sebagian isteri beliau lalu sholat tanpa wudhu lagi.
2.Sebagian yang lain memaknai “lams” dengan makna haqiqi yang berarti menyentuh. Mereka pun mengatakan bahwa jika ada keraguan antara makna haqiqi dan makna majazi maka harus diambil makna haqiqi sampai ada dalil yang menguatkan makna majazi.
Yang mengambil makna haqiqi pun terbagi dua :
2.a.Yang memasukkannya dalam bab ‘aamm tetapi yang dimaksudkan adalah khaashsh : sehingga mempersyaratkan adanya kenikmatan saat menyentuh.
2.b.Yang memasukkannya dalam bab ‘aamm dengan maksud ‘aamm : sehingga tidak mempersyaratkan adanya kenikmatan saat menyentuh.
Komentar :
Kita gunakan kaidah : “jika ada keraguan antara makna haqiqi dan makna majazi maka harus diambil makna haqiqi sampai ada dalil yang menguatkan makna majazi”. Dalam hal ini telah ada dalil-dalil berupa hadits-hadits yang menguatkan makna majazi. Sehingga kita pilih pendapat III.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Menyentuh wanita, meskipun tanpa penghalang, tidaklah membatalkan wudhu, karena banyaknya hadits shahih yang menyatakannya dan tidak adanya dalil shahih yang menentangnya.
Masalah menyentuh kemaluan
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’iyah, Ahmad, Dawud) :
Membatalkan wudhu bagaimanapun menyentuhnya.
Pendapat II (Hanafiyah) :
Tidak membatalkan wudhu sama sekali.
Pendapat III (Malikiyah) :
Berbeda-beda hukumnya tergantung pada bagaimana menyentuhnya.
• Jika menyentuhnya dengan menikmati maka itu membatalkan wudhu, tetapi jika tidak maka tidak.
• Jika menyentuhnya dengan telapak tangan maka itu membatalkan wudhu, tetapi jika tidak maka tidak (Bisa dipahami bahwa hal ini karena sentuhan dengan telapak tangan merupakan sebab adanya kenikmatan)
• Jika menyentuhnya dengan sengaja maka itu membatalkan wudhu tetapi jika dalam keadaan lupa atau tidak sengaja maka tidak apa-apa.
• Jika menyentuhnya secara langsung (tanpa penghalang) maka itu membatalkan wudhu, tetapi jika dengan penghalang maka tidak apa-apa.
Pendapat IV (diriwayatkan dari Malik) :
Wudhu karena menyentuh kemaluan adalah sunnah dan bukan wajib.
Sebab perbedaan pendapat : pertentangan antar hadits :
Hadits yang mewajibkan wudhu :
Dari Basrah, Rasulullah bersabda,”Jika salah seorang kalian menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudhu”. (Dishahihkan oleh Yahya ibn Mu’in, Ahmad ibn Hanbal, Ibnus Sakan, didha’ifkan oleh ahli Kufah, dan tidak pernah diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim)
Hadits yang tidak mewajibkan wudhu :
Dari Thalq ibn ‘Ali : Kami datang kepada Rasulullah dan ketika itu beliau sedang bersama seorang laki-laki yang sepertinya seorang Badui. Laki-laki itu berkata,”Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapat Anda tentang orang yang menyentuh kemaluannya setelah ia berwudhu?” Maka Rasulullah menjawab,”Bukankah kemaluan itu juga bagian dari tubuhnya?” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh banyak sekali ahli ilmu [ahli hadits] baik Kufah maupun yang lainnya).
Istinbath para fuqaha :
1.Metode tarjih / naskh :
• Bagi yang merajihkan hadits Basrah atau menganggapnya naasikh bagi hadits Thalq, maka implikasinya : pendapat I
• Bagi yang merajihkan hadits Thalq maka implikasinya : pendapat II
2.Metode jam’u wa taufiq :
Implikasinya : pendapat III (tergantung bagaimana menyentuhnya) atau pendapat IV (hadits Basrah menunjukkan sunnahnya wudhu sedangkan hadits Thalq menunjukkan tidak wajibnya wudhu).
Pendapat Sayyid Sabiq :
Beliau lebih condong kepada pendapat bahwa menyentuh kemaluan secara langsung (tanpa kain dsb) adalah membatalkan wudhu. Pendapat ini didapatkan dengan cara melakukan takhshish terhadap nash-nash yang bersifat ‘aamm. Namun demikian, beliau juga menyebutkan pendapat Hanafiyah bahwa menyentuh kemaluan sama sekali tidak membatalkan wudhu, tanpa memberikan komentar lebih jauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar