Rabu, 14 Oktober 2009
A. Pidato Pelantikan
Selesai dibaiat, ‘Alī menyapaikan pidato. Setelah menyapaikan puji dan syukur kepada Allah antara lain ia berkata: “Allah telah menurunkan Qur’an sebagai petunjuk yang jelasana yang baik dan mana yang buruk. Ambilah yang baik dan tinggalkanlah yang buruk . Laksanakanlah segala kewajiban kepada Allah, yangakan mengantar kalian ke surga. (‘Alī Audah, 2008 : 195)
Bagi kalian sudah jelas segala yang diharamkan oleh Allah, dan ini merupakan suatu kehormatan bagi setiap muslim. Laksanakanlah dengan ikhlas dan bersatulah. Seorang muslim ialah yang dapat menyelamatkan orang lain dengan lidah atau tanganya atas dasar kebenaran, dan tak boleh mengganggu. Utamakanlah kepentingan umum takuklah kalian kepada Allah mengenai hak-hak manusia dan negrinya. Sampai ke soal sejengkal tanah dan binatang pun kalian harus ikut bertanggung jawab.taatlah kalian kepada Allah dan jangan melanggar perintah-Nya. Bila kalian melihat yang baik ambilah dan bila melihat yang ururk tinggalkanlah.” (‘Alī Audah, 2008 : 196)
Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, Maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu Kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.
Dia mengimbau agar penduduk desa kemb’Ali ke desanya dan menggarap tanah mereka, orang kota agar kemb’Ali ke rumah-rumah mereka di kota. (‘Alī Audah, 2008 :196)
‘Alī bin Abi Ţalib berpendapat,hanya ada dua pilihan bagi amirul-mukminin. Pertama, pemerintah sibawah seorang imam dengan segala konsekuensinya sebagai syarat kekhalifahan,yakni harus bertakwa, dan menjauhkan diri dari segala perbuatan dosa, kuat dan berwibawa. Kedua, pemerintah dibawah seorang raja dengan segala kemewahan, kemegahan dan kekuasaanya, yang cenderung sewenang-wenang. (‘Alī Audah, 2008 : 196)
B. Pengangkatan Tiga Gubernur
‘Alī adalah orang yang istikamah, berpegang teguh pada kebenaran,adil, jujur, terus terang dan tegas, dalam berbicara dan dalam bertindak, tak suka berliku-liku dan tak suka main politik atau mau kompromi dalam mempertahan kan kebenaran. Disadari atau tidak, tindakan demikian secara politik akan merugikan dirinya. Tetapi baginya kebenaran dan keimanan pada ajaran agamanya diatas politik, kendati yang demikian ini sering berakibat nerugikan perjuangannya. (‘Alī Audah, 2008 : 201)
Bagamanapun juga, setelah sekarang sebagai penanggung jawab umat dan sebagai kepala negara, mau tak mau berarti ia harus terjun ke tengah-tengah kancah politik paraktis, dan dalam beberapa hal, seperti perang, politik tidak mungkin lepas dari taktik dan strategi, politik adalah ilmu cara memperoleh keuntungan, yang tidak jarang harus mengorbankan orang lain. Politik adalah kekuasaan. Konsekuensinya, jika tak mau begitu,jangan berpolitk, jangan memegang kekuasaan. ‘Alī memang bukan orang politik. Ketegasannya dalam menolak nasihat-nasihat Abdullah bin Abbas dan Mugirah bin Syu’bah tanpa seikitpun mau menegang, dari segi politik mungkin tidak menguntungkan untuk masa depannya dan masa depan umat, dapat dinilai berlawanan dengan etika politik “take and give” yang berlaku dalam sejarah politik kemudian hari. Lepas dari soal ia sangat tegas dan memang diperlukan demikian, tetapi kadang ia bertidak terlalu cepat atau tergesa-gesa mengambil keputusan, seperti yang terjadi kemudian dengan Abu Musa al-Asy’ari, Gubernur Khufah yang langsung dipecat dan diangkat gantinya, setelah perintahnya tidak dipatuhi. (‘Alī Audah, 2008 : 201)
Dalam mengganti para Gubernur itu tindakan ‘Alī yang cukup bijaksana ketika mengangkat Uśman bin Hunaif al-Ansari untuk basrah menggantikan Abdullah bin ‘Amir, Sahl bin Hunaif, saudaranya, untuk Syam menggantikan Mu’awiyah, Qais bin Sa’d bin Ubadah untuk Mesir, menggantikan Abdullah bin Sa’d. Ketiganya adallah dari kalangan Ansar terkemuka. Tetapi ada sumber yang menyebutkan, bahwa dalam menjalani tugas masing-masing yang masih menghadapi masalah adalah Qais bin Sa’d. setelah sampai ditempat tujuan ternyata Qais berhadapan dengan penduduk dalam tiga kelompok. Satu kelompok mendukung Ali, kelompok kedua menyendiri ke khirbata dan tidak akan mendukung ‘Alī sebelum pembunuh Usman dihukum, tetapimereka tidak mengadakan perlawanandan tetepa taat sambil menunggu perkembangan, dan kelompok ketiga pengikut Ibn Saba’ dan kaum peberontak yang menuntut agar para pembunuh tidak di hukum. (‘Alī Audah, 2008 : 202)
C. Munculnya Pertentangan
Kehidupan kenegaraan dan tata kemasyarakatan yang ditinggalkan Khalifah Utsman bin Affan r.a. memang berada dalam situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan Imam ‘Alī r.a. sebagai Khalifah. Sejak sebelum dibai’at Imam ‘Alī r.a. sudah membayangkan adanya kesulitan-kesulitan besar yang bakal dihadapi. Berbagai macam problema sosial, politik dan ekonomi ternyata muncul dalam waktu yang bersamaan. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 90)
Bagi ‘Alī as, Situasi masyarakat diawal masa khalifahnya, sama seperti situasi pada masa sebelum Islam. (Rasul Ja’fariyan, 2006 : 279)
Langkah pertama untuk membenahi keadaan yang serba tak mantap, tentu saja memulihkan ketertiban, khususnya di ibukota, Madinah. Ribuan kaum pemberontak yang bertebaran di ibukota berhasil dihimbau dan dijinakkan sampai mereka berhasil dipulihkan kemb’Ali ke dalam kehidupan normal. Bagi Imam ‘Alī r.a. tidak ada kemungkinan untuk bertindak terhadap ribuan kaum pemberontak yang telah mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman r.a. Bertindak terhadap mereka, berarti menyulut api perang saudara. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 90)
Bagi Imam ‘Alī r.a. memang tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Daripada bermusuhan dengan kaum muslimin yang menuntut terlaksananya kebenaran dan keadilan, lebih baik berhadap hadapan dengan tokoh-tokoh Bani Umayyah, betapa pun besarnya resiko yang akan dipikul. Dan ternyata, tidak bertindaknya Imam ‘Alī r.a. terhadap kaum mulimin yang memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a., dijadikan alasan dan dalih oleh lawan-lawan politiknya untuk menggerakan kekuatan oposisi dan perlawanan. Kemungkinan itu pun telah diperhitungkan oleh
Imam ‘Alī r.a. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 90)
Ada lagi tindakan dan langkah Imam ‘Alī r.a: yang sangat menjengkelkan lawan-lawan politiknya. Yaitu tindakan menertibkan aparatur pemerintahan. Penguasa-penguasa daerah yang selama 6 tahun terakhir masa pemerintahan Khalifah Utsman r.a. terbukti telah menyalah-gunakan wewenang untuk kepentingan pribadi dan golongan, digeser seorang demiseorang. Banyak pejabat tinggi yang tidak dipakai lagi. Di antara mereka ialah Marwan bin Al Hakam, seorang pembantu Khalifah Utsman r.a. yang sangat dominan kekuasaannya, yang kemudian lari meninggalkan Madinah. Juga Abdullah bin Abi Sarah digeser dari kedudukkannya sebagai penguasa daerah Mesir. Imam ‘Alī r.a. juga berniat hendak mengganti penguasa daerah Syam yang berpengaruh itu, Muawiyah bin Abi Sufyan. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 90)
Sebelum bertindak melaksanakan penertiban, Imam ‘Alī r.a. telah mengadakan pertukaran pendapat dengan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar. Ia yakin, bahwa hanya dengan aparatur yang bersih dan sepenuhnya mengabdi kepentingan agama dan ummat saja, pemerintahnya akan dapat berjalan dengan lancar dan kebenaran serta keadilan dapat ditegakkan. Imam ‘Alī r.a. tidak tanggung-tanggung dalam bertindak menjalankan penertiban.Siapa saja yang terbukti tidak mengabdikan amalnya kepada agama Allah dan ummat Islam, digeser tanpa tawar-menawar. Satu persatu tokoh-tokoh yang tidak atau kurang jujur tersingkir. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 90)
D. Pertentangan Dengan Muawiyah
Sejak mendengar Imam ‘Alī r.a. terbai’at sebagai Amirul Mukminin, Muawiyah telah memasang kuda-kuda untuk menjegal kepemimpinan Imam ‘Alī r.a. Apa yang disiapkan oleh Muawiyah bukannya tidak dimengerti oleh Amirul Mukminin, dan justru itulah motivasinya hendak menggeser Muawiyah. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 91)
Banyak sahabat Imam ‘Alī r.a. yang mengemukakan kekhawatiran bila Imam ‘Alī r.a. melaksanakan niatnya. Mereka menasehatkan agar Imam ‘Alī r.a. tidak cepat-cepat mengambil tindakan terhadap Muawiyah. Mereka mengatakan: “Kami yakin Muawiyah tidak akan tinggal diam bila dia disingkirkan dari kedudukannya. Sebaliknya, ada kemungkinan ia merasa cukup puas jika sementara dibiarkan memegang jabatan itu.” (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 91)
Tetapi Imam ‘Alī r.a. sebagai seorang pemimpin yang selalu bersikap prinsipal, tak mau mundur sejengkal pun. Ia menegaskan pendiriannya: “Aku tidak dapat lagi memakai Muawiyah, sekalipun hanya untuk dua hari! Aku tidak akan mempergunakannya dalam tugas apa pun juga. Bahkan ia tidak akan kuperbolehkan menghadiri peristiwa upacara penting. Ia juga tidak akan mendapat kedudukan dalam pasukan muslimin!” Pendirian Imam ‘Alī r.a. sudah tidak dapat ditawar lagi, Keputusan diambil: mengganti Muawiyah dengan Sahl bin Hunaif, seorang dari kaum Anshar. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 91)
Tindakan yang diambil Imam ‘Alī r.a. ini mengaw’Ali pertentangan terbuka dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada waktu Sahl bin Hunaif tiba di Damsyik, Muawiyah secara terang-terangan menolaknya. Malahan ia berani memerintahkan agar Sahl cepat kemb’Ali ke Madinah. Peristiwa ini membuat para sahabat Imam ‘Alī r.a. bertambah khawatir. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 91)
Penolakan dan pembangkangan Muawiyah ternyata sama sekali tidak menggetarkan fikiran Imam ‘Alī r.a. Ia berpegang teguh pada firman Allah yang menegaskan, bahwa tiap muslim wajib taat kepada Waliyyul Amri (pemegang kekuasaan) selama Waliyyul Amri tidak berlaku durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Bagi Imam ‘Alī r.a., perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya adalah di
atas segala-galanya. (H.M.H. Al Hamid Al Husaini, 1981 : 91)
Boleh dikatakan bahwa seluruh ahli sejarah dan ahli ketimuran mencela tindakan ali. Dikatakanya ‘Alī tidak bijaksana dan tidak mendapat taufik dalam hal ini. Tetapi, Prof.Dr. A Syabili dalam bukunya berpendapat bahwa tiadalah pada tempatnya meletakan tuduhan seberat itu kepada Ali. Tuduhan itu sangat berlebih-lebihan. Orang banyak menerima begitu saja dan ikut menuduh pula tanpa dipelajari dan diselidiki. Tetapi, hal ini tak perlu pula diherankan karena dalam masyarakat banyak pula hal yang seperti ini (Prof. Dr. A Syalabi, 2000 : 285)
DAFTAR PUSTAKA
Audah, Ali. 2008. ‘Alī bin Abi Ţalib sampai kepada Hasan Husain. Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa.
al Husaini, al Hamid. 1981. Sejarah Hidup Imam ‘Alī bin Abi Thalib r.a. Jakarta : Lebaga Penyelidikan Islam.
Ja’fariyan, Rasul. 2006. Sejarah Khilafah. Jakarta : Penerbit Al Huda.
Syalibi, A. 2000.Sejarah dan Kebudayan Islam 1. Jakarta : PT. Al Husna Zikra.
Isi Kandungan Surat Al-Baqaraħ ayat 285
Oleh:Dadan Ramdani
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulilllah, segala puji kita panjatkan kehadirat Allah swt bahwa hingga saat ini, Allah masih memberi kita kesempatan untuk menyempurnakan pengabdian kita kepadaNya, dengan harapan mudah-mudahan segala kekurangan dalam proses pengabdian itu diampuni oleh Allah swt. Mudah-mudahan juga momentum hari ini semakin memberikan kita kesadaran akan peningkatan kualitas iman dan takwa kita kepadaNya. Amin.
Shalawat beserta salam semoga terlimpah curahkan kepada nabi kita Muhammad Saw
Hadirin yang Saya Hormati
Imam Muslim mengeluarkan di dalam kitab Shahih-nya dan juga dikeluarkan oleh periwayat lainnya, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Tatkala turun ayat [artinya], ‘Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu” (Q.s.,al-Baqarah:284) beratlah hal itu bagi para shahabat RA. Lalu mereka mendatangi Rasulullah SAW., dengan merangkak atau bergeser dengan bertumpu pada pantat (ngengsot) seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami sudah dibebankan amalan-amalan yang mampu kami lakukan; shalat, puasa, jihad dan sedekah (zakat) dan sekarang telah diturunkan padamu ayat ini padahal kami tidak sanggup melakukannya.’
Lalu Rasulullah SAW., bersabda, ‘Apakah kalian ingin mengatakan sebagaimana yang dikatakan Ahli Kitab sebelum kamu; kami dengar namun kami durhaka? Tetapi katakanlah ‘kami dengar dan patuh, Wahai Rabb, kami mohon ampunan-Mu dan kepada-Mu tempat kembali.’ Tatkala mereka mengukuhkan hal itu dan lisan mereka telah kelu, turunlah setelah itu ayat ‘Aamanar Rasuul…sampai al-Mashiir. (al-Baqarah:285)’ Dan tatkala mereka melakukan hal itu, Allah pun menghapus (hukum)-nya dengan menurunkan firman-Nya, “Laa Yukallifullah…hingga selesai.(al-Baqarah:286)” [HR.Muslim, no.125 dan Ahmad, II/412]
Kisah diatas adalah Asbabunujul dari surat Al-Baqaraħ ayat 285
Makna Global Ayat
Di dalam ayat-ayat yang mulia tersebut terdapat pemberitaan dari Allah mengenai Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman bahwa mereka itu telah beriman kepada semua wahyu yang diwahyukan kepada Rasul kita, Muhammad SAW. Mereka beriman kepada Allah, kitab-kitab dan Rasul-Rasul-Nya semua, tidak ada perbedaan di antara mereka, menjalankan semua perintah, mengamalkan, mendengar, patuh, meminta kepada Allah ampunan atas dosa-dosa mereka dan khusyu’ serta tunduk kepada Allah di dalam memohon pertolongannya-Nya dalam menjalankan kewajiban tersebut.
Di dalam ayat-ayat tersebut juga terdapat pemberitaan bahwa Allah tidak membebani para hamba-Nya melainkan sesuai dengan kemampuan mereka, setiap jiwa akan mendapat pahala kebaikan yang dilakukannya dan dosa atas kejahatan yang dilakukannya, Allah Ta’ala mengampuni keterbatasan mereka dalam mengemban kewajiban-kewajiban dan hal-hal haram yang dilanggar, tidak memberikan sanksi atas kesalahan dan kelupaan mereka, Dia sangat memudahkan syari’at-Nya dan tidak membebani mereka hal-hal yang berat dan sulit sebagaimana yang dibebankan kepada orang-orang sebelum mereka serta tidak membebankan mereka sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka. Dia telah mengampuni, merahmati dan menolong mereka atas orang-orang kafir. (Lihat, Tasysiir al-Kariim ar-Rahmaan, h.101)
Allah Ta’ala telah menjelaskan karunia-Nya itu dengan firman-Nya, ‘Telah Aku lakukan (Aku telah menetapkannya)’ sebagai jawaban atas setiap doa yang ada di dalam ayat-ayat tersebut.
Pesan-Pesan Ayat
Di antara pesan-pesan ayat tersebut adalah:
1. Menyebutkan sifat agung seorang Mukmin, yaitu mendengar, ta’at (patuh) dan komitmen terhadap perintah-perintah Allah.
2. Di antara keimanan yang esensial adalah iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan Rasul-Rasul-Nya.
3. Wajib beriman kepada seluruh para Rasul dan kitab-kitab-Nya tanpa membeda-bedakan di antara mereka
Kita memohon kepada Allah melalui Asma dan Sifat-Nya serta karunia-Nya yang berupa konsistensi terhadap agama-Nya agar merealisasikan hal itu kepada kita dan segera mengabulkan janji-Nya kepada kita melalui lisan Nabi-Nya serta agar memperbaiki kondisi kaum Mukminin.
Hadirin yang berbahagia itulah yang dapat saya sampaikan terima kasih atas perhatianya mohon maaf bila ada kesalahan
Wassalamualaikum Wr. Wb.
(SUMBER: Silsilah Manaahij Dawraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah-Fi`ah an-Naasyi`ah- karya Dr.Ibrahim bin Sulaiman al-Huwaimil, h.41-36)
Minggu, 11 Januari 2009
pengertian ahlak ,Etika, dan moral
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk pada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja'ah (perwira/ksatria) dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat).
Hukum-hukum akhlak ialah hokum-hukum yang bersangkut paut dengan perbaikan jiwa (moral); menerangkan sifat-sifat yang terpuji atau keutamaan-keutamaan yang harus dijadikan perhiasan atau perisai diri seseorang seperti jujur, adil, terpercaya, dan sifat-sifat yang tercela yang harus dijauhi oleh seseorang seperti bohong, dzalim, khianat. Sifat-sifat tersebut diterangkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan secara Khusus dipelajari dalam Ilmu Akhlak (etika) dan Ilmu Tasawuf.[2]
a. Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).
Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.
Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima cirri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, sejalan dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.[3]
skema ruang lingkup akhlak
![]() | |
b. Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.
Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Dengan cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal manusia.
c. Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adapt kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.
Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Kesadaran moral erta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.
Senin, 01 Desember 2008
Trio Bomber itulah saya menamai para anggota yang biasa di sebut di media amrozy cs,tim atau grup yang pada beberapa pekan kebelakang sangat menghebohkan dunia media karena trio bomber di beritakan telah dieksekusi pada hari minggu 9 November 2008 pukul 00.15 trio bomber ini telah terbukti bersalah atas tuduhan sebagai pelaku pengeboman di bali dan di ponis hukuman mati.
Walaupun berita tentang eksekusi trio bomber ini sekarang di anggap sudah basi tapi perbincangan mengenai trio bomber ini masih sering menjadi perbincangan dan perdebatan diantara masyarakat,umumnya masyarakat bingung dan masih belum mengerti apakah tindakan dari trio bomber ini termasuk jihad atau hanya sekedar tindakan anarkis yang mengatasnamakan islam dan jihad.
Ada yang berpendapat tindakan mereka hanyalah tindakan ekstrim yang membabi buta ada juga yang berpendapat bahwa tindakan mereka adalah jihad dan mereka telah mati syahid,silahkan saja mereka mempunyai pendapat sendiri karena mereka mungkin mempunyai pandangan tersendiri tentang amasalah ini.
Bagi yang berpendapat bahwa tindakan mereka hanyalah tindakan ekstrim mungkin di dasari pada beberapa pemikiran contohnya:”Jihad adalah memerangi kaum musyrikin dan kekufuran di jalan Allah, dan tak ada hukum islam yg memperbolehkan pembunuhan membabi buta”.Bagi mereka yang berpikir bahwa mereka berjihad dan telah mati syahid mingkin di dasari beberapa argument contohnya saja di dalam internet tersiar kabar beberapa tanda-tanda bahwa amrozy telah syahid diantaranya:
photo kedua syuhada Tenggulun terlihat tersenyum dengan barisan gigi yang terlihat rapi. Apalagi yang terjadi dengan Amrozi. Senyuman khas "The Smiling Bomber" yang seiring dengan kedua mata yang terbuka, terlihat seakan-akan bertemu dengan sesuatu yang membuat kagum. Mungkin sepasang bidadari yang menyambut ramah.
Kondisi tak jauh berbeda terjadi dengan jenasah Ust. Mukhlas. Ulama yang jago berorasi ini memperlihatkan senyuman dengan mata yang juga terbuka. Wajah bersih pun menjadi pertanda yang lain. Wajah bersih yang juga dimiliki oleh sang "Mujahid Hacker," Imam Samudera alias Abdul Azis. Imam memperlihatkan wajah tampan dan bersih, persis dengan kondisi Ust. Mukhlas .( http://www.inilah.com, 2008/11/14,misteri syahidnya amrozy terkuak)
Melihat dari beberapa perbedaan diatas maka saya anggap perlu untuk lebih mengkaji tentang bagaimana jihad dan orang yang bagaimana yang matinya syahid itu.nah sekarang kita mulai dengan apakah jihad itu
Menurut bahasa, kata jihad sebagaimana mengutip kamus al-Munjid fillughah wal-A’lam (1986), berasal dari Bahasa Arab, bentuk isim masdar dari fiil jahada. Artinya, mencurahkan kemampuan. Sedangkan menurut istilah, Al-Raghib Al-Asfahani menyatakan dalam Al-Mufradat li Gharib Al-Qur‘an, jihad adalah mencurahkan kemampuan dalam menahan serangan musuh. Lebih lanjut, Al Asfahani menambahkan, bahwa jihad itu ada tiga macam, yakni berjuang menghadapi atau melawan musuh yang tampak, berjuang menghadapi setan dan berjuang menghadapi hawa dan nafsu. Perjuangan tersebut dilakukan dengan tangan dan lisan. Berdasar sabda Nabi SAW: jahidu al-kuffar biaydikum waalsinatikum. (http://syamsulkurniawan.blogspot.com, 2008).
Kemudian orang yang bagaimansih yang termasuk kategori jihad itu
Para ulama membagi syahid menjadi tiga macam:
1. Orang yang syahid di dunia dan akherat, yaitu mereka yang mati di medan pertempuran melawan orang-orang kafir.
2. Orang yang syahid di akherat, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Atik bahwa nabi saw bersabda,”Mati syahid itu ada tujuh macam—selain perang di jalan Allah—yaitu syahid karena penyakit tho’un, syahid karena tenggelam, syahid karena lumpuh, syahid karena sakit perut, syahid karena terbakar, orang yang mati karena tertimbun reruntuhan maka ia syahid, perempuan yang mati karena melahirkan maka ia syahid.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai dengan sanad shohih)
3. Orang yang syahid di dunia saja tidak di akherat, yaitu orang yang berperang karena ingin ghonimah (rampasan perang), fanatisme kesukuan atau ingin supaya disebut syahid atau pejuang, sabda Rasulullah saw,”Siapa yang berperang dengan tujuan meninggikan kalimatullah, dia itulah yang berada di jalan Allah.” (HR. Ahmad dan Abu Daud) serta hadits yang diriwayatkan dari Abu Umamah al Bahiliy berkata,”Telah datang seorang laki-laki kepada Nabi saw dan bertanya,’Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang berperang untuk mendapat upah (bayaran) dan ingin dikenang? Rasulullah saw menjawab,’Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Maka orang itu bertanya lagi hingga tiga kali dan Rasulullah saw juga menjawab,’Ia tidak mendapatkan apa-apa.’ Kemudian beliau bersabda,’Sesungguhnya Allah swt tidak menerima amal kecuali yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan hanya mengharap ridho-Nya.” (HR. an Nasa’i).(sumber:http://www.eramuslim.com)
Berangkat dari itu uraian-uraian diatas maka timbul pertanyaan apakah trio bomber termasuk jihad dan ia akan mati syahid?
Kalau kita lihat dari uraian yang tadi yaitu tentang siapa yang matinya syahid saya pikir amrozy tidak termsuk dari yang tiga itu karena kalaupun masuk pada golongan pertama trio bomber bukan mati dalam keadaan perang ataupun di medan perang begitupun dengan golongan yang kedua dan ketiga jelas tri bomber itu tidak masuk,jadi menurut saya terlepas dari fakta tentang adanya ciri-ciri syahid pada mereka maka trio bomber tidak termasuk kepada golongan orang-orang yang mati syahid.
Sekarang bagaimana jika kita lihat dari segi pengertian jihad apakah tindakan trio bomber itu termasuk jihad ? dari uraian dia atas dapat di ambil bahwa pengertian jihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan dan kekuatan kita untuk membela diri dan melawan diantaranya musuh yang tampak,melawan syetan.dan melawan hawa nafsu. Dengan demikian sesungguhnya pengertian jihad dalam Islam itu merata, meliputi spirit perjuangan dalam seluruh aspek kehidupan, mencakup perjuangan moral dan spiritual termasuk perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Perang hanyalah salah satu di antara bagian jihad, dan hanya dibolehkan kalau umat Islam mengalami tekanan dari musuh yang memerangi, sebagai wujud pembelaan diri saja.
Jadi dari pengertian di atas juga trio bomber tidak termasuk jihad karena kita tidak sedang di serang musuh dan apa yang trio bomber perjuangkan bukan merupakan suatu keadilan dan kebenaran terus apakah bisa di benarkan jika memang kita ingin menegakan keadilan dan kebenaran dengan membunuh orang,terlebih lagi perbuatan mereka telah mencoreng nama islam yang kemudian di pandang sebagai agama teroris.
Jadi saya menganggap perlu adanya perluasan pengertian tentang jihad karena kita tidak bisa memberi pengertian begitu saja tentang jihad atau kita juga tidak bisa mngartikan secara terburu-buru misalnya jihad adalah “perang” berarti islam menyuruh untuk melakukan tindakan anarkis,sekarang kita lihat dan ambil pelajaran dari trio bomber saya yakin bahwa mereka mempunyai tujuan yang sangat mulia yaitu untuk menegakan keadilan tapi taap saja perbuatan mereka tidak bisa dianggap baik mungkin merekalah yang terburu-buru mengartikan jihad itu sebagai perang,padahal sekarang jihad kita seharusnya adalah belajar dan belajar sehinggakita menjadi pribadi muslim yang paripurna dan menjadikan islam sebagai agama yang di hargai.
Akhirnya kita dihadapkan pada dimana kita sebenarnya,apakah kita akan mengklaim bahwa trio bomber itu syahid karena terdapat ciri syahid pada kematianya atau kita mengklaim bahwa mereka tidak syahid dan masuk neraka,semuanya itu kita kembalikan kepada Allah karena hanya Allah yang tahu segalanya dan maha berkehendak atas apapun.Marilah kita do’akan mereka karena walau bagaimanapun mereka tetap sodara kita sebagai seorang muslim,semoga amal dan niat baik mereka dapat di terima di sisi Allah amien.
Senin, 17 November 2008
dalil-dalil wudhu
Kategori: Fiqh dan Muamalah
Wudhu merupakan salah satu amalan ibadah yang agung di dalam Islam. Secara bahasa, wudhu berasal dari kata Al-Wadha’ah, yang mempunyai arti kebersihan dan kecerahan. Sedangkan menurut istilah, wudhu adalah menggunakan air untuk anggota-anggota tubuh tertentu (yaitu wajah, dua tangan, kepala dan dua kaki) untuk menghilangkan hal-hal yang dapat menghalangi seseorang untuk melaksanakan shalat atau ibadah yang lain.
Dalil-Dalil Disyariatkannya Wudhu
Dalil dari Al-Qur’an
Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan taganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Dalil dari As-Sunnah
1. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk berwudhu apabila hendak mengerjakan shalat.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasa’i dengan derajad shahih)
2. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ” Tidak diterima shalat salah seorang dari kalian apabila ia berhadas, hingga ia berwudhu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalil Ijma’
Para ulama telah sepakat bahwa tidak sah shalat tanpa bersuci, jika dia mampu untuk melakukannya.
Begitu penting dan agungnya perkara wudhu ini, sampai-sampai dikatakan bahwa tidak sah shalat seseorang tanpa berwudhu, maka sudah selayaknya bagi setiap muslim untuk menaruh perhatian yang besar terhadap permasalahan ini dengan berusaha memperbagus wudhunya yaitu dengan memperhatikan syarat, kewajiban serta sunnah-sunnah wudhu.
Syarat-syarat Wudhu
Yang dimaksud dengan syarat-syarat wudhu adalah perkara-perkara yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak berwudhu. Di antara syarat-syarat wudhu adalah:
1. Islam.
Wudhu merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam di mana orang yang melakukannya dengan ikhlas serta sesuai dengan tuntunan Allah akan diberi pahala. Adapun orang kafir, amalan-amalan mereka seperti debu yang beterbangan yang tidak akan diterima oleh Allah ta’ala.
2. Berakal
3. Tamyiz (Dewasa)
4. Niat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ” Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang diniatkannya. ” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, orang yang dhohirnya (secara kasat mata) berwudhu, akan tetapi niatnya hanya sekedar untuk mendinginkan badan atau menyegarkan badan tanpa diniati untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam berwudhu serta menghilangkan hadats, maka wudhunya tidak sah. Dan yang perlu untuk diperhatikan, bahwa niat di sini letaknya di dalam hati dan tidak perlu dilafazkan.
5. Tasmiyah
Yang dimaksud dengan tasmiyah adalah membaca “bismillah”. Boleh juga apabila ditambah dengan “Ar-Rohmanir Rohim“. Tasmiyah ketika hendak memulai shalat merupakan syarat sah wudhu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah (bertasmiyah, pen). ” (HR. Ibnu Majah, hasan)
6. Menggunakan air yang suci
Air dikatakan suci atau masih suci manakala tidak tercampur oleh zat/barang yang najis sehingga menjadi berubah salah satu dari tiga sifat, yaitu bau, rasa dan warnanya. Apabila air telah terkena najis, misalnya air kencing atau yang lainnya, kemudian menjadi berubah salah satu dari ketiga sifat di atas maka air tersebut telah menjadi tidak suci lagi berdasarkan ijma’. Apabila air tersebut tercampuri oleh sesuatu yang bukan najis, maka air tersebut masih boleh dipakai untuk berwudhu apabila campurannya hanya sedikit. Namun apabila campurannya cukup banyak sehingga menjadikan air tersebut tidak bisa dikatakan lagi sebagai air, maka air yang telah berubah ini tidak dapat dipakai untuk berwudhu lagi karena sudah tidak bisa dikatakan lagi sebagai air. Misalnya, ada air yang suci sebanyak 1 liter. Air ini kemudian dicampur dengan 5 sendok makan susu bubuk dan diaduk. Maka campuran air ini tidak bisa lagi dipakai untuk berwudhu karena sudah berubah namanya menjadi “susu” dan tidak dikatakan sebagai air lagi.
7. Menggunakan air yang mubah
Apabila air diperoleh dengan cara mencuri, maka tidak sah berwudhu dengan air tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Baik. Dia tidak menerima sesuatu kecuali yang baik.” (HR. Muslim). Sudah dimaklumi, bahwa mencuri merupakan perbuatan yang tidak baik dan keharamannya sudah jelas. Oleh karena itu, air hasil curian (yang merupakan barang yang tidak baik) tidak sah digunakan untuk berwudhu.
8. Menghilangkan sesuatu yang menghalangi sampainya air ke kulit.
Tidak sah wudhu seseorang yang memakai kutek atau yang lainnya yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit.
Rukun-Rukun Wudhu
Rukun wudhu dikenal pula sebagai kewajiban wudhu yaitu perkara-perkara yang harus dilakukan oleh orang yang berwudhu agar wudhunya menjadi sah. Di antara rukun-rukun wudhu adalah:
1. Mencuci seluruh wajah
Wajah adalah sesuatu yang tampak pada saat berhadapan. Batasan wajah adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut bagian atas dahi hingga bagian paling bawah dari jenggot atau dagu (jika memang tidak punya jenggot). Ini bila ditinjau secara vertikal. Adapun batasan wajah secara horizontal adalah dari telinga hingga ke telinga yang lain.
Mencuci wajah merupakan salah satu rukan wudhu, artinya tidak sah wudhu tanpa mencuci wajah. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu.” (QS. Al-Maidah: 6)
Termasuk salah satu kewajiban dalam wudhu adalah menyela-nyela jenggot bagi yang memiliki jenggot yang lebat berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, beliau mengambil setelapak air kemudian memasukkannya ke bawah dagunya selanjutnya menyela-nyela jenggotnya. Kemudian bersabda, “Demikianlah Rabbku memerintahkanku.” (HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi, Al-Hakim dengan sanad shahih lighoirihi).
Perlu untuk diperhatikan bahwa pegertian mencuci wajah termasuk di dalamnya madhmadhoh (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dan menghirupnya hingga ke bagian dalam hidung). Hal ini karena mulut dan hidung juga termasuk bagian wajah yang harus dicuci. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian berwudhu hendaklah ia melakukan istinsyaq.” (HR. Muslim). Adapun tentang madhmadhoh, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau berwudhu, maka lakukanlah madhmadhoh.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu majah dengan sanad yang shahih)
Sehingga orang yang berwudhu tanpa disertai dengan madhmadhoh dan istinsyaq maka wudhunya tidak sah.
2. Mencuci kedua tangan hingga siku
Para ulama telah bersepakat tentang wajibnya mencuci kedua tangan ketika berwudhu. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan juga tanganmu sampai dengan siku.” (QS. Al-Maidah: 6)
Perlu untuk diperhatikan bahwa siku adalah termasuk bagian tangan yang harus disertakan untuk dicuci.
3. Mengusap kepala serta kedua telinga
Allah berfirman yang artinya, “… dan usaplah kepalamu.” (QS. Al-Maidah: 6). Yang dimaksud dengan mengusap kepala adalah mengusap seluruh bagian kepala mulai dari depan hingga belakang. Adapun apabila seseorang mengenakan sorban, maka cukup baginya untuk mengusap rambut di bagian ubun-ubunnya kemudian mengusap sorbannya. Demikian pula bagi wanita yang mengenakan kerudung.
Adapun mengusap kedua telinga hukumnya juga wajib karena termasuk bagian dari kepala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua telinga termasuk kepala.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Mengusap kedua telinga ini dilakukan setelah mengusap kepala dengan tanpa mengambil air yang baru.
4. Mencuci kedua kaki hingga mata kaki.
Allah berfirman yang artinya,” dan (cucilah) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Perlu untuk diperhatikan bahwa kedua mata kaki adalah termasuk bagian kaki yang harus disertakan untuk dicuci. Adapun menyela-nyela jari-jari kaki hukumnya juga wajib apabila memungkinkan bagian antar jari tidak tercuci kecuali dengan menyela-nyelanya.
5. Muwalaat (berturut-turut)
Muwalat adalah berturut-turut dalam membasuh anggota wudhu. Maksudnya adalah sebelum anggota tubuh yang dibasuhnya mengering, ia telah membasuh anggota tubuh yang lainnya.
Dalilnya adalah hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seorang laki-laki yang berwudhu dan meninggalkan bagian sebesar kuku pada kakinya yang belum tercuci. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya maka beliau bersabda, “Kembalilah dan perbaikilah wudhumu!” (HR. Muslim). Dalam suatu riwayat dari sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bahwasanya Nabi melihat seseorang sedang shalat, sementara di bagian atas kakinya terdapat bagian yang belum terkena air sebesar dirham. Maka Nabi memerintahkannya untuk mengulangi wudhu dan shalatnya.” (HR. Abu dawud, shahih). Dari hadits di atas, dapat kita ketahui bahwa muwalaat merupakan salah satu rukun wudhu. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mencukupkan diri dalam memerintahkan orang yang belum sempurna wudhunya untuk mencuci bagian yang belum tercuci sebelumnya, namun beliau memerintahkan orang tersebut untuk mengulangi wudhunya.
Sunnah-sunnah Wudhu
Yang dimaksud sunnah-sunnah wudhu adalah hal-hal yang menyempurnakan wudhu. Di dalamnya terdapat tambahan pahala. Adapun jika hal-hal tersebut ditinggalkan, wudhunya tetap sah. Di antara sunnah-sunnah wudhu adalah:
1. Bersiwak
Siwak diambil dari kata saka, yang artinya adalah menggosok. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan bersiwak adalah menggunakan kayu siwak atau sejenisnya pada gigi untuk menghilangkan warna kuning atau yang lainnya.
Bersiwak ini sangat dianjurkan tatkala hendak berwudhu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku, niscaya telah kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. Ahmad, dalam Shohihul jami’)
2. Mencuci kedua telapak tangan
Yang dimaksud adalah mencuci kedua telapak tangan sebelum wudhu ketika hendak mencuci wajah. Hal ini dilakukan masing-masing sebanyak tiga kali berdasarkan hadits Utsman tentang sifat (cara) wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “…lalu beliau menuangkan (air) di atas telapak tangannya tiga kali kemudian mencucinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Madhmadhoh (berkumur-kumr) dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) dari satu telapak tangan sebanyak tiga kali.
Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang mengajarkan tentang sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ” Bahwasanya beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dari satu telapak tangan. Beliau melakukan hal itu sebanyak tiga kali.” (HR. Muslim). Termasuk sunnah dalam wudhu adalah bersungguh-sungguh tatkala beristnsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), kecuali bagi orang yang bepuasa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bersungguh-sunguhlah dalam beristinsyaq, kecuali kamu dalam keadaan berpuasa. (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dengan sanad yang shahih)
Perlu untuk diketahui bahwa bermadhmadhoh serta beristinsyaq dalam wudhu hukumnya wajib (sebagaimana penjelasan yang terdahulu tentang rukun-rukun wudhu). Adapun bermadhmadhoh dan beristinsyaq dengan menggunakan satu telapak tangan serta melakukannya sebanyak tiga kali hukumnya hanyalah sunnah. Demikian pula bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq tatkala berwudhu selain bagi orang yang berpuasa, ini pun hukumnya hanyalah sunnah.
4. Tayamun
Yang dimaksud dengan tayamun adalah mencuci anggota wudhu dengan memulainya dari bagian anggota wudhu yang kanan dulu kemudian ke bagian yang kiri pada saat mencuci kedua tangan atau kaki.
Dalilnya adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tatkala menceritakan sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “…Kemudian beliau mengambil seciduk air lalu mencuci tangan kanannya, kemudian mengambil seciduk air lalu mencuci tangan kirinya. Kemudian beliau mengusap kepalanya. Selanjutnya beliau mengambil seciduk air lalu menyiramkannya pada kaki kanannya hingga mencucinya. Kemudian beliau mengambil seciduk air lagi lalu mencuci kaki kirinya.” (HR. Bukhari)
5. Mencuci anggota-anggota wudhu sebanyak tiga kali.
Hali ini merupakan cara wudhu yang paling sempurna berdasarkan hadits A’robi (arab badui) tatkala ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wudhu, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya tiga kali-tiga kali. Selanjutnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Inilah cara berwudhu...” (HR. Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad, shohih). Juga berdasarkan hadits Utsman radhiyallahu ‘anhu yang suatu ketika memperlihatkan cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Utsman radhiyallahu ‘anhu berwudhu tiga kali tiga kali kemudian berkata, “Aku melihat Nabi berwudhu seperti wudhuku ini…” (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun berwudhu sekali-sekali ataupun dua kali dua kali, ini pun juga diperbolehkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah melakukannya.
6. Berdoa setelah wudhu
Berdoa setelah wudhu merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan, berdasarkan hadits dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudhu dengan sempurna, kemudian mengucapkan ‘Asyhadu allaa ilaha illallah wahdahu laa syarika lahu, wa asyhadu anna muhammdan abduhu wa rosuluhu‘ kecuali dibukakan baginya delapan pintu surga dan ia boleh masuk dari pintu mana saja yang ia suka.” (HR. Muslim). Di dalam lafadz Tirmidzi ada tambahan bacaan, “Allahumma ijnalni minattawwabiin wa ij’alni minal mutathohhiriin.” (HR. Tirmidzi, shahih)
7. Shalat dua rakaat setelah wudhu
Amalan ini mempunyai nilai yang sangat agung di dalam Islam berdasarkan hadits Utsman radhiyallahu ‘anhu. Tatkala Utsman radhiyallahu ‘anhu selesai mempraktekkan cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, ‘Barang siapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian shalat dua rakaat dengan penuh kekhusyukan, maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian beberapa syarat, rukun dan sunnah-sunnah wudhu yang hendaknya menjadi perhatian bagi kita semua untuk kita amalkan agar wudhu kita sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebenarnya ada beberapa permasalahan di atas yang masih menjadi perselisihan para ulama tentang pengelompokannya menjadi syarat, rukun atau sunnah wudhu, akan tetapi sengaja tidak kami tampilkan dan hanya dipilih yang paling kuat pendapatnya menurut penulis untuk mempermudah pembahasan. Mudah-mudahan Allah memberikan taufik kepada penulis dan menjadikan tulisan ini sebagai tabungan amal shalih bagi penulis di akhirat kelak serta bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
Penulis: Ibnu Sutopo
Artikel www.muslim.or.id
Perbedaan Pendapat Seputar Wudhu
Ayat Wudhu (QS Al-Maidah : 6) :
“Yaa ayyuhalladzina aamanuu idza qumtum ilash sholati faghsiluu wujuuhakum wa aidiyakum ilal marafiq wamsahuu biru-usikum wa arjulakum ilal ka’bain”
Apakah niat merupakan syarat wudhu?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’I, Malik, Ahmad, Abu Tsaur, Dawud ) : ya
Pendapat II (Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri) : tidak
Sebab perbedaan pendapat :
Para fuqaha sepakat bahwa ibadah mahdhah (ibadah yang tidak bisa dilogika) mempersyaratkan adanya niat, namun tidak untuk ibadah ghairu mahdhah (ibadah yang bisa dilogika). Dalam hal ini, para fuqaha berbeda pendapat tentang wudhu itu ibadah mahdhah ataukah ghairu mahdhah, sebab wudhu itu agak samar sifatnya antara ritual dan tindakan higienis / sanitatif.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Niat adalah wajib dalam wudhu sebagaimana ia wajib dalam setiap amalan, sesuai dengan hadits Nabi : Innamal a’maalu bin niyyaat …
Apakah sikut termasuk yang wajib dibasuh?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Jumhur, Malik, Syafi’I, Abu Hanifah) : ya
Pendapat II ( sebagian zhahiriyah, sebagian pengikut Malik yang belakangan, Thabari) : tidak
Sebab perbedaan pendapat :
1. Perbedaan pendapat mengenai makna kata “ilaa” (sebagaimana disebutkan dalam Ayat Wudhu), karena “ilaa” terkadang bermakna “sampai” (ghaayah) dan terkadang bermakna “termasuk” (ma’a).
2. Perbedaan pendapat mengenai makna “al-yad” , karena ia dipakai oleh orang Arab dengan salah satu dari tiga makna : “hand”, “dari ujung jari sampai siku”, dan “dari ujung jari sampai bahu”.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Sikut termasuk yang wajib dibasuh. Tidak ada riwayat dari Nabi saw yang mengemukakan bahwa beliau meninggalkannya.
Kadar menyapu rambut
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik) : seluruh rambut wajib diusap
Pendapat II (Syafi’I, Abu Hanifah, sebagian sahabat Malik) : hanya wajib mengusap sebagiannya
Yang dimaksud dengan sebagian ialah :
Syafi’I : tidak ada batasan tertentu
Abu Hanifah : sesuai dengan ukuran telapak tangan
Sebagian sahabat Mlaik : sepertiga atau dua pertiga bagian dari kepala
Sebab perbedaan pendapat :
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai makna kata “bi” ( sebagaimana disebutkan dalam Ayat Wudhu ) :
• Ada yang mengatakan bahwa “bi” dalam ayat tersebut adalah “bi zaidah” yang berfungsi untuk men-ta’kid. Implikasi : pendapat I
• Yang lain mengatakan bahwa “bi” dalam ayat tersebut adalah untuk “tab’idh” (menyatakan makna “sebagian” ). Implikasi : pendapat II
Pendapat Sayyid Sabiq :
Mengusap kepala tidaklah harus keseluruhannya. Sesuai dengan riwayat-riwayat dari Nabi, mengusap kepala bisa dilakukan dengan tiga cara :
1. Mengusap keseluruhannya
2. Mengusap serbannya saja
3. Mengusap ubun-ubun dan serban
Masalah jumlah basuhan dan sapuan
Para fuqaha sepakat bahwa basuhan wajib dilakukan minimal satu kali, dan sunnah jika dilakukan dua atau tiga kali.
Namun para fuqaha berbeda pendapat tentang jumlah usapan :
Pendapat I (Syafi’I) : jika ia membasuh tiga-tiga kali maka ia pun mengusap tiga-tiga kali.
Pendapat II (Jumhur) : tidak ada tuntunan untuk mengulang usapan lebih dari satu kali.
Sebab perbedaan pendapat : pertentangan antar hadits.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Menurut riwayat yang paling banyak, mengusap kepala adalah satu kali saja.
Hukum menyapu dua telinga, demikian juga dengan air baru atau tidak?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (sebagian sahabat Malik) :
menyapu dua telinga adalah wajib (karena ia termasuk kepala), dilakukan dengan air baru.
Pendapat II ( Abu Hanifah) :
menyapu dua telinga adalah wajib, tetapi tidak dengan air baru.
Pendapat III (Syafi’I) :
menyapu dua telinga adalah sunnah, dilakukan dengan air baru.
Sebab perbedaan pendapat :
1. Pertentangan antar hadits
2. Pertentangan mengenai apakah dua telinga termasuk kepala ataukah tidak.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Mengusap dua telinga adalah sunnah wudhu.
Komentar :
Dalam Silsilatul Ahadits Al-Shahihah karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani Jilid I Bagian I terdapat hadits “Dua telinga termasuk kedalam kepala”.
Dua kaki dibasuh ataukah disapu?
Sahabat Nabi berijma’ bahwa kedua tumit wajib dibasuh (hadits Ibnu Umar, muttafaq ‘alaih). Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai selain tumit.
Perbedaan pendapat :
Pendapat I ( jumhur) : wajib dibasuh
Pendapat II : wajibnya adalah diusap
Pendapat III : boleh pilih antara dibasuh dan diusap
Sebab perbedaan pendapat : perbedaan qira’at :
• Qira’at I : nashb, athaf terhadap bagian yang dibasuh. Implikasi : pendapat I
• Qira’at II : khifdh, athaf terhadap bagian yang diusap. Implikasi : pendapat II
Pendapat Sayyid Sabiq :
Dua kaki adalah dibasuh, sebagaimana tumit juga dibasuh.
Masalah tartib
Perbedaan pendapat :
Pendapat I :
tartib adalah sunnah
Pendapat II :
tartib adalah wajib untuk perbuatan-perbuatan yang wajib (rukun wudhu), sedangkan untuk sunnah-sunnah wudhu maka tartib adalah mustahab / sunnah.
Pendapat III :
tartib adalah wajib secara mutlaq. Artinya : melakukan perbuatan-perbuatan sunnah tidak secara urut adalah bid’ah yang tercela.
Sebab perbedaan pendapat :
• Perbedaan pendapat mengenai makna kata “wa” (sebagaimana tersebut dalam Ayat Wudhu)
Pendapat madzhab nahwu Bashrah : “wa” tidak menunjukkan tartib
Pendapat madzhab nahwu Kufah : “wa” menunjukkan tartib
• Perbedaan pendapat mengenai perbuatan rasulullah dalam kasus ini menunjukkan wajib ataukah sunnah.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Tartib termasuk wajib wudhu, sesuai dengan keumuman hadits nabi saw,”Dahulukanlah apa-apa yang didahulukan oleh Allah”. Demikian pula tidak ada riwayat yang mengemukakan bahwa Nabi berwudhu dengan tidak tertib. Sementara itu, wudhu adalah ibadah. Dan dalam urusan ibadah, sikap kita adalah ittiba’.
Masalah muwaalaah (kontinyuitas)
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik) : muwaalaah adalah wajib dalam keadaan ingat dan mampu.
Pendapat II (Syafi’I, Abu Hanifah) : muwaalaah tidaklah wajib.
Sebab perbedaan pendapat :
• Perbedaan pendapat mengenai makna “wa”
• Pertentangan hadits
Pendapat Sayyid Sabiq :
Muwaalaah termasuk sunnah wudhu.
Tentang hal-hal yang membatalkan wudhu :
Masalah keluarnya zat-zat dari tubuh manusia
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Sufyan Tsauri, Ahmad ) :
keluarnya segala najis dari bagian tubuh yang mana saja adalah membatalkan wudhu
Pendapat II ( Sya’fi’i dan sahabat-sahabatnya ) :
keluarnya sesuatu dari dubur dan qubul adalah membatalkan wudhu.
Pendapat III ( Malik dan sahabat-sahabatnya) :
keluarnya sesuatu yang lazim dari dubur dan qubul dalam kedaan sehat adalah membatalkan wudhu.
Sebab perbedaan pendapat :
Ketika para fuqaha sepakat berdasarkan zhahir Qur’an dan Sunnah bahwa buang air besar, buang air kecil, buang angin, dan mengeluarkan madzi serta wadi adalah membatalkan wudhu, maka mereka menarik beberapa kemungkinan :
• Kemungkinan pertama : hukum ini hanya berhubungan dengan zat-zat yang secara eksplisit disebutkan dan tidak meliputi yang lainnya. Implikasi : pendapat III
• Kemungkinan kedua : hukum ini berhubungan dengan zat-zat tersebut dari sisi bahwa itu semua termasuk najis yang keluar dari badan. Implikasi : pendapat I
• Kemungkinan ketiga : hukum ini berhubungan dengan zat-zat tersebut dari sisi bahwa itu semua keluar dari dubur dan qubul. Implikasi : pendapat II
Komentar :
• Pendapat I dan II masuk dalam bab khaashsh tetapi yang diinginkan adalah ‘aamm.
• Pendapat III masuk dalam bab khaashsh yang diterapkan hanya pada kekhususannya.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Diantara hal-hal yang membatalkan wudhu ialah keluarnya setiap zat dari dua jalan (dubur dan qubul) . Lalu beliau memerinci bahwa zat-zat tersebut ialah : kencing, berak, kentut, madhi, dan wadi.
Masalah tidur
Perbedaan pendapat :
Pendapat I :
tidur membatalkan wudhu, baik sebentar ataupun pulas.
Pendapat II :
tidur tidak membatalkan wudhu sama sekali kecuali yang bersangkutan benar-benar yakin bahwa ia telah berhadats (buang angin, buang air, keluar madzi ).
Pendapat III ( jumhur ) :
tidur yang pulas membatalkan wudhu, namun tidur yang sebentar saja (tidak sampai pulas) tidak membatalkan wudhu.
Tentang posisi tidur :
• Malik : tidur sambil berbaring atau bersujud membatalkan wudhu, baik tidur sebentar atau lama. Tidur sambil duduk tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya itu lama.
• Syafi’I : tidur dalam semua posisi, kecuali dalam posisi duduk, adalah membatalkan wudhu.
• Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya : tidur yang membatalkan wudhu hanyalah tidur dalam posisi berbaring.
Sebab perbedaan pendapat :
pertentangan antar hadits :
1.Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa tidur tidak mengharuskan wudhu’
2.Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa tidur merupakan hadats
Istinbath para fuqaha :
Metode tarjih : ada dua kemungkinan antara pendapat I dan pendapat II
Metode jam’u wa taufiq : menghasilkan pendapat III
Komentar :
Menurut jumhur ushuliyyun, metode jam’u wa taufiq lebih utama daripada metode tarjih, apabila memungkinkan.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Tidur yang membatalkan wudhu ialah tidur yang pulas, yang tidak menyisakan kesadaran, dan juga yang tidak dalam posisi duduk.
Masalah menyentuh wanita
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’iyah) :
Menyentuh tanpa penghalang, termasuk didalamnya mencium, adalah membatalkan wudhu, baik menikmati ataupun tidak menikmati.
Terkadang dibedakan antara yang menyentuh dan yang disentuh. Wudhu batal bagi yang menyentuh tetapi tidak bagi yang disentuh.
Terkadang dibedakan pula antara menyentuh isteri dan menyentuh mahram. Wudhu batal jika menyentuh isteri tetapi tidak jika menyentuh mahram.
Pendapat II (Malik dan sebagian besar sahabatnya) :
Menyentuh dengan menikmati ataupun dengan maksud menikmati, dengan penghalang atau tanpa penghalang, adalah membatalkan wudhu; kecuali mencium maka ia membatalkan wudhu meskipun tidak menikmati.
Pendapat III (Abu Hanifah) :
Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu
Sebab perbedaan pendapat : isytirak makna “lams” dalam ayat yang ada :
1.Sebagian memaknai “lams” dengan makna majazi yang berarti jima’. Mereka juga mengemukakan berbagai hadits yang mendukung :
• Nabi menyentuh Aisyah dengan tangan saat bersujud.
• Nabi mencium sebagian isteri beliau lalu sholat tanpa wudhu lagi.
2.Sebagian yang lain memaknai “lams” dengan makna haqiqi yang berarti menyentuh. Mereka pun mengatakan bahwa jika ada keraguan antara makna haqiqi dan makna majazi maka harus diambil makna haqiqi sampai ada dalil yang menguatkan makna majazi.
Yang mengambil makna haqiqi pun terbagi dua :
2.a.Yang memasukkannya dalam bab ‘aamm tetapi yang dimaksudkan adalah khaashsh : sehingga mempersyaratkan adanya kenikmatan saat menyentuh.
2.b.Yang memasukkannya dalam bab ‘aamm dengan maksud ‘aamm : sehingga tidak mempersyaratkan adanya kenikmatan saat menyentuh.
Komentar :
Kita gunakan kaidah : “jika ada keraguan antara makna haqiqi dan makna majazi maka harus diambil makna haqiqi sampai ada dalil yang menguatkan makna majazi”. Dalam hal ini telah ada dalil-dalil berupa hadits-hadits yang menguatkan makna majazi. Sehingga kita pilih pendapat III.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Menyentuh wanita, meskipun tanpa penghalang, tidaklah membatalkan wudhu, karena banyaknya hadits shahih yang menyatakannya dan tidak adanya dalil shahih yang menentangnya.
Masalah menyentuh kemaluan
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’iyah, Ahmad, Dawud) :
Membatalkan wudhu bagaimanapun menyentuhnya.
Pendapat II (Hanafiyah) :
Tidak membatalkan wudhu sama sekali.
Pendapat III (Malikiyah) :
Berbeda-beda hukumnya tergantung pada bagaimana menyentuhnya.
• Jika menyentuhnya dengan menikmati maka itu membatalkan wudhu, tetapi jika tidak maka tidak.
• Jika menyentuhnya dengan telapak tangan maka itu membatalkan wudhu, tetapi jika tidak maka tidak (Bisa dipahami bahwa hal ini karena sentuhan dengan telapak tangan merupakan sebab adanya kenikmatan)
• Jika menyentuhnya dengan sengaja maka itu membatalkan wudhu tetapi jika dalam keadaan lupa atau tidak sengaja maka tidak apa-apa.
• Jika menyentuhnya secara langsung (tanpa penghalang) maka itu membatalkan wudhu, tetapi jika dengan penghalang maka tidak apa-apa.
Pendapat IV (diriwayatkan dari Malik) :
Wudhu karena menyentuh kemaluan adalah sunnah dan bukan wajib.
Sebab perbedaan pendapat : pertentangan antar hadits :
Hadits yang mewajibkan wudhu :
Dari Basrah, Rasulullah bersabda,”Jika salah seorang kalian menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudhu”. (Dishahihkan oleh Yahya ibn Mu’in, Ahmad ibn Hanbal, Ibnus Sakan, didha’ifkan oleh ahli Kufah, dan tidak pernah diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim)
Hadits yang tidak mewajibkan wudhu :
Dari Thalq ibn ‘Ali : Kami datang kepada Rasulullah dan ketika itu beliau sedang bersama seorang laki-laki yang sepertinya seorang Badui. Laki-laki itu berkata,”Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapat Anda tentang orang yang menyentuh kemaluannya setelah ia berwudhu?” Maka Rasulullah menjawab,”Bukankah kemaluan itu juga bagian dari tubuhnya?” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh banyak sekali ahli ilmu [ahli hadits] baik Kufah maupun yang lainnya).
Istinbath para fuqaha :
1.Metode tarjih / naskh :
• Bagi yang merajihkan hadits Basrah atau menganggapnya naasikh bagi hadits Thalq, maka implikasinya : pendapat I
• Bagi yang merajihkan hadits Thalq maka implikasinya : pendapat II
2.Metode jam’u wa taufiq :
Implikasinya : pendapat III (tergantung bagaimana menyentuhnya) atau pendapat IV (hadits Basrah menunjukkan sunnahnya wudhu sedangkan hadits Thalq menunjukkan tidak wajibnya wudhu).
Pendapat Sayyid Sabiq :
Beliau lebih condong kepada pendapat bahwa menyentuh kemaluan secara langsung (tanpa kain dsb) adalah membatalkan wudhu. Pendapat ini didapatkan dengan cara melakukan takhshish terhadap nash-nash yang bersifat ‘aamm. Namun demikian, beliau juga menyebutkan pendapat Hanafiyah bahwa menyentuh kemaluan sama sekali tidak membatalkan wudhu, tanpa memberikan komentar lebih jauh.
Minggu, 02 November 2008
dalil nikmatnya syurga
• Hadis riwayat Abu Hurairah, ia berkata:
Dari Nabi, beliau bersabda: Allah berfirman: Aku sediakan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah didengar oleh telinga serta tidak terbesit dalam hati manusia. Bukti kebenaran itu terdapat dalam Alquran: Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Shahih Muslim No.5050)
• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda: Sesungguhnya di dalam surga itu terdapat sebatang pohon di mana seorang pengendara (harus) menempuh luas bayangannya selama seratus tahun. (Shahih Muslim No.5054)
• Hadis riwayat Sahal bin Saad ra.:
Dari Rasulullah saw., beliau bersabda: Sesungguhnya di dalam surga itu terdapat sebatang pohon di mana (jika) seorang pengendara berjalan di bawah bayangannya selama seratus tahun, ia tidak dapat menempuhnya. (Shahih Muslim No.5055)
• Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.:
Dari Nabi saw., beliau bersabda: Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebatang pohon di mana (jika) seseorang menunggang kuda terlatih yang berlarinya selama seratus tahun tidak dapat menempuh luas bayangannya. (Shahih Muslim No.5056)
2. Diturunkannya keridaan Allah kepada penghuni surga, maka dia tidak akan murka kepada mereka selamanya
• Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.:
Bahwa Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman kepada penghuni surga: Hai penghuni surga! Mereka menjawab: Kami penuhi seruan-Mu wahai Tuhan kami, dan segala kebaikan ada di sisi-Mu. Allah melanjutkan: Apakah kalian sudah merasa puas? Mereka menjawab: Kami telah merasa puas wahai Tuhan kami, karena Engkau telah memberikan kami sesuatu yang tidak Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu. Allah bertanya lagi: Maukah kalian Aku berikan yang lebih baik lagi dari itu? Mereka menjawab: Wahai Tuhan kami, apa yang lebih baik dari itu? Allah menjawab: Akan Aku limpahkan keridaan-Ku atas kalian sehingga setelah itu Aku tidak akan murka kepada kalian untuk selamanya. (Shahih Muslim No.5057)
3. Penghuni surga saling melihat penghuni ghurfah (tempat yang tinggi di surga) seperti bintang yang terlihat di langit
• Hadis riwayat Sahal bin Saad ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya penghuni surga akan melihat ghurfah (tempat yang tinggi) di surga sebagaimana kalian melihat bintang di langit. (Shahih Muslim No.5058)
4. Rombongan yang pertama kali masuk surga itu seperti bulan purnama, sifat mereka dan pasangan mereka
• Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Abul Qasim saw. bersabda: Sesungguhnya rombongan yang pertama kali memasuki surga itu bagaikan bulan purnama, kemudian rombongan berikutnya seperti bintang yang terang-benderang di langit. Masing-masing mereka berpasangan dua orang yang sumsum betisnya terlihat dari dalam daging dan di dalam surga tidak ada seorang pun yang tidak berpasangan. (Shahih Muslim No.5062)
5. Sifat kemah-kemah surga dan anggota rumah tangga orang mukmin di dalamnya
• Hadis riwayat Abu Musa Al-Asy`ari ra.:
Dari Nabi saw., beliau bersabda: Sesungguhnya seorang mukmin mempunyai sebuah kemah di dalam surga yang terbuat dari satu mutiara yang berlubang, panjangnya enam puluh mil, dan orang seorang mukmin juga memiliki keluarga di dalamnya yang akan ia kunjungi padahal sebagian mereka tidak pernah melihat sebagian yang lain. (Shahih Muslim No.5070)
6. Kaum yang akan masuk surga, hati mereka seperti hati burung
• Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Allah menciptakan Adam dalam bentuknya setinggi enam puluh hasta. Setelah menciptakannya, Allah berkata: Pergilah dan ucapkanlah salam kepada kelompok itu, yaitu beberapa malaikat yang sedang duduk, dan dengarkanlah apakah jawaban mereka karena itulah ucapan selamat untukmu dan keturunanmu. Maka Adam pergi menghampiri lalu mengucapkan: "Semoga keselamatan menyertai kalian". Mereka menjawab: "Semoga keselamatan dan rahmat Allah menyertai kalian". Mereka menambahkan "rahmat Allah". Maka setiap orang yang memasuki surga itu seperti bentuk Adam yang tingginya enam puluh hasta. Seluruh makhluk setelah Adam terus berkurang tingginya sampai sekarang. (Shahih Muslim No.5075)
7. Panas dan dalamnya neraka Jahanam serta bagian tubuh yang dibakar api neraka
• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Nabi saw. bersabda: Api kalian yang dinyalakan anak-cucu Adam adalah sepertujuh puluh dari panas api Jahanam. Para sahabat berkata: Demi Allah, bila sepanas ini saja sudah cukup wahai Rasulullah saw. Beliau bersabda: Sesungguhnya panas api tersebut masih tersisa sebanyak enam puluh sembilan bagian, panas masing-masing sama dengan api ini. (Shahih Muslim No.5077)
8. Neraka akan dihuni para penindas dan surga akan dihuni orang-orang yang lemah
• Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Neraka dan surga saling berdebat, lalu neraka berkata: Aku dimasuki oleh orang-orang yang suka menindas dan sombong. Surga berkata: Aku dimasuki oleh orang-orang yang lemah dan miskin. Lalu Allah berfirman kepada neraka: Kamu adalah siksa-Ku, Aku menyiksa denganmu siapa yang Aku kehendaki. (Atau Allah berfirman: Aku menimpakan bencana denganmu kepada orang yang Aku kehendaki). Dan Allah berfirman kepada surga: Kamu adalah rahmat-Ku, Aku limpahkan rahmat berupa kamu kepada siapa yang Aku kehendaki. Dan masing-masing kamu memiliki penghuninya sampai penuh. (Shahih Muslim No.5081)
• Hadis riwayat Anas bin Malik ra.:
Bahwa Nabi saw. bersabda: Neraka Jahanam selalu berkata: Apakah masih ada tambahan? Sehingga Allah Maha Suci lagi Maha Tinggi meletakkan telapak kaki-Nya, lalu Jahanam berkata: Cukup, cukup! Demi keagungan-Mu! Dan sebagiannya dikumpulkan kepada sebagian yang lain. (Shahih Muslim No.5084)
• Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Pada hari kiamat, maut akan didatangkan seperti seekor biri-biri yang berwarna keputih-putihan. (Abu Kuraib dalam periwayatannya menambahkan: Lalu dihentikan di antara surga dan neraka. Kemudian keduanya sepakat tentang isi hadis selanjutnya.) Kemudian diserukan: Wahai ahli surga, apakah kalian mengenal ini? Lalu mereka menjulurkan leher untuk melihat ke arah sang penyeru, kemudian menjawab: Ya, itu adalah maut! Kemudian diserukan lagi: Wahai ahli neraka, apakah kamu sekalian mengenal ini? Lalu mereka menjulurkan leher untuk melihat dan menjawab: Ya, itu adalah maut! Kemudian diperintahkan agar maut (kambing) itu disembelih, lalu diserukan lagi: Wahai ahli surga, keabadian yang tidak akan ada kematian lagi! Wahai ahli neraka, keabadian yang tidak akan ada kematian lagi! Kemudian Rasulullah saw. membacakan ayat: Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, yaitu ketika segala perkara telah diputus dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak pula beriman. Kemudian beliau menunjuk dunia dengan tangan beliau. (Shahih Muslim No.5087)
• Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Allah memasukkan ahli surga ke dalam surga dan ahli neraka ke dalam neraka, kemudian seorang penyeru berdiri di antara mereka dan berseru: Wahai ahli surga, tidak ada kematian. Wahai ahli neraka, tidak ada kematian. Masing-masing kekal abadi di tempatnya. (Shahih Muslim No.5088)
• Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Gigi geraham atau gigi taring orang kafir itu sebesar gunung Uhud dan kekasaran kulitnya adalah sejauh perjalanan tiga hari. (Shahih Muslim No.5090)
• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Rasulullah saw. bersabda: Jarak antara kedua bahu orang kafir di neraka itu sejauh perjalanan tiga hari dengan kendaraan yang cepat. (Shahih Muslim No.5091)
• Hadis riwayat Haritsah bin Wahab ra.:
Bahwa ia mendengar Nabi saw. bersabda: Maukah kalian aku beritahu tentang ahli surga? Para sahabat berkata: Mau. Rasulullah saw. bersabda: Yaitu setiap orang yang lemah dan melemahkan diri, seandainya ia bersumpah demi Allah, pasti akan dilaksanakan. Kemudian beliau bertanya lagi: Inginkah kamu sekalian aku beritahukan tentang ahli neraka? Mereka menjawab: Mau. Beliau bersabda: Yaitu setiap orang yang kejam, bengis dan sombong. (Shahih Muslim No.5092)
• Hadis riwayat Abdullah bin Zam`ah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. pernah berkhutbah lalu menyebut seekor unta (milik Nabi Saleh) dan menyebutkan orang yang menyembelihnya kemudian membaca ayat: Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka. Yang bangkit untuk membunuh unta itu adalah seorang yang terhormat di kalangan kaumnya, perusak dan kejam terhadap keluarganya, seperti Abu Zam`ah. Kemudian beliau juga menyebutkan kaum wanita dan memberikan nasihat untuk menghadapi mereka dan bersabda: Untuk apa seorang di antara kalian memukul istrinya. (Shahih Muslim No.5095)
• Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Aku melihat Amru bin Luhai bin Qamaah bin Khindif, yakni nenek moyang Bani Kaab menarik ususnya di dalam neraka. (Shahih Muslim No.5096)
9. Kehancuran dunia dan manusia kelak akan dikumpulkan di hari kiamat
• Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Pada hari kiamat manusia akan dikumpulkan dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan tidak berkhitan. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kaum wanita dan lelaki semuanya akan saling memandang satu sama lain? Beliau bersabda: Wahai Aisyah, keadaan saat itu lebih menegangkan sehingga mereka tidak akan saling memandang satu sama lain. (Shahih Muslim No.5102)
• Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.:
Bahwa ia mendengar Nabi saw. berkhutbah dan berkata: Sesungguhnya kalian akan menemui Allah dengan berjalan kaki, tidak beralas kaki, telanjang dan tidak berkhitan. (Shahih Muslim No.5103)
• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Dari Nabi saw., beliau bersabda: Manusia akan dikumpulkan dalam tiga kelompok yang penuh harap dan rasa takut dan dua orang di atas satu unta, tiga orang di atas satu unta, empat orang di atas satu unta serta sepuluh orang di atas satu unta. Dan sisa mereka akan dikumpulkan bersama api neraka di mana setiap siang, malam, pagi dan sore hari selalu bersama mereka di mana saja mereka berada. (Shahih Muslim No.5105)
10. Sifat hari kiamat
• Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Dari Nabi saw. tentang ayat: Yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta, beliau bersabda: Seorang dari mereka berdiri dalam air keringatnya yang mencapai pertengahan kedua telinganya. (Shahih Muslim No.5106)
• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Pada hari kiamat nanti air keringat akan mengalir di tanah sepanjang tujuh puluh depa dan akan menggenang setinggi mulut atau setinggi telinga mereka. Tsaur (perawi hadis) meragukan mana yang disebutkan Nabi. (Shahih Muslim No.5107)
11. Orang mati akan diperlihatkan tempatnya kelak di surga atau neraka, kepastian siksa kubur dan permohonan perlindungan dari siksa kubur
• Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya apabila seorang di antara kamu sekalian mati akan diperlihatkan tempatnya setiap pagi dan sore. Jika ia termasuk ahli surga, maka akan diperlihatkan surga, kalau termasuk ahli neraka, maka akan diperlihatkan neraka, lalu dikatakan: Inilah tempatmu nanti bila Allah telah membangkitkanmu di hari kiamat. (Shahih Muslim No.5110)
• Hadis riwayat Abu Ayyub ra., ia berkata:
Rasulullah saw. keluar ketika matahari telah terbenam, kemudian beliau mendengar sebuah suara dan bersabda: (Itu suara) orang Yahudi yang sedang disiksa di dalam kuburnya. (Shahih Muslim No.5114)
• Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya seorang hamba jika telah diletakkan di dalam kuburnya dan teman-temannya sudah meninggalkannya, ia akan mendengar suara sandal mereka. Kemudian ia didatangi dua malaikat lalu mendudukkannya dan bertanya: Apa pendapatmu tentang lelaki ini (Muhammad saw.)? Adapun orang mukmin, maka ia akan menjawab: Aku bersaksi bahwa dia adalah seorang hamba Allah dan utusan-Nya. Maka dikatakan kepadanya: Lihatlah tempatmu di neraka, Allah telah menggantinya dengan tempat di surga. Lalu Nabi saw. melanjutkan sabdanya: Maka ia dapat melihat keduanya. (Shahih Muslim No.5115)
• Hadis riwayat Barra' bin Azib ra.:
Dari Nabi saw., beliau membacakan firman Allah: Allah meneguhkan iman orang-orang mukmin dengan ucapan yang teguh. Kemudian beliau bersabda: Ayat ini turun mengenai siksa kubur. Ditanyakan kepada orang mukmin: Siapakah Tuhanmu? Ia menjawab: Tuhanku Allah dan nabiku Muhammad saw. Itulah yang dimaksudkan dengan firman Allah: Allah meneguhkan iman orang-orang mukmin dengan ucapan yang teguh dalam kehidupan dunia dan akhirat. (Shahih Muslim No.5117)
12. Penghitungan amal perbuatan (hisab)
• Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang dihisab pada hari kiamat, maka ia akan disiksa. Aku bertanya: Bukankah Allah berfirman: Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah. Beliau menjawab: Yang demikian bukanlah hisab, tapi itu hanyalah sekedar berdiri di hadapan Allah karena barang siapa yang diperiksa perhitungan amalnya di hari kiamat, maka ia akan disiksa. (Shahih Muslim No.5122)
13. Perintah berbaik sangka terhadap Allah ketika hampir mati
• Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata:
Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Jika Allah menghendaki siksaan untuk suatu kaum, maka siksaan tersebut akan menimpa orang-orang yang ada di tengah-tengah mereka, kemudian mereka akan dibangkitkan sesuai dengan amalnya. (Shahih Muslim No.5127)